Setiap bangsa punya cara mengenang para pahlawannya. Kita menyalakan api semangat, tapi jarang menyalakan api kesadaran. Kadang, dalam upaya memuliakan masa lalu, kita justru menodainya dengan lupa.
Kata pahlawan selalu terdengar mulia. Tapi di balik kemilau itu, sering tersembunyi kepentingan, citra, dan politik ingatan. Ia bisa menjadi penghormatan bagi keberanian, tapi juga alat untuk menutupi luka sejarah. Dalam sejarah bangsa ini, gelar “pahlawan nasional” kadang lebih mencerminkan siapa yang menulis kisahnya, bukan siapa yang benar-benar berjuang untuk manusia.

Setiap 10 November, kita memperingati Hari Pahlawan. Upacara digelar, baliho dipasang, pidato dilantangkan. Namun jarang kita bertanya dengan jujur: siapa sebenarnya yang layak disebut pahlawan? Apakah cukup karena ia berjasa bagi negara, atau harus juga bersih dari darah sesama manusia?
Pertanyaan itu menggema lagi ketika pemerintah menetapkan Soeharto dan Marsinah sebagai pahlawan nasional. Dua nama yang mustahil berdampingan tanpa menimbulkan kegelisahan. Soeharto, sang penguasa yang tiga dasawarsa memegang kendali negeri dengan tangan besi, disandingkan dengan Marsinah, buruh perempuan yang mati karena memperjuangkan upah. Yang satu simbol kekuasaan, yang satu simbol perlawanan. Yang satu menciptakan sistem represi, yang lain menjadi korban dari sistem itu.
Keputusan itu terasa seperti satire sejarah. Menyamakan pelaku dan korban dalam altar yang sama berarti mengaburkan garis moral yang seharusnya tak pernah dinegosiasikan. Di masa kekuasaannya, ribuan orang hilang tanpa jejak, ratusan aktivis dibungkam, dan ketakutan menjadi budaya nasional. Sejarah memang mencatat jasa Soeharto: menstabilkan ekonomi pasca-1965, membangun infrastruktur, dan menjaga administrasi negara tetap utuh. Tapi apakah pembangunan bisa menebus pembungkaman? Apakah pertumbuhan ekonomi sebanding dengan hilangnya kebebasan berpikir dan berpendapat?
Kita begitu ringan menabalkan gelar, tapi begitu berat mengakui luka.
Dalam kebudayaan populer, ironi seperti ini justru dipotret lebih gamblang. Serial The Boys menampilkan dunia di mana para “pahlawan” bukanlah teladan moral, melainkan produk korporasi. Mereka tampak menyelamatkan dunia, tapi sebenarnya sedang menjual citra. Kamera menjadi alat legitimasi, bukan nurani. Masyarakat menyembah ilusi keberanian, sementara kebenaran dibiarkan membusuk di balik layar.
