Pahlawan dari Bilik-bilik Pesantren

Di tengah hiruk-pikuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, sejarah sering menyorot tokoh-tokoh besar yang tampil di panggung nasional. Namun, di balik cahaya itu, ada kisah perjuangan lain yang berlangsung dalam sunyi — di bilik-bilik pesantren. Dari ruang-ruang sederhana beralas tikar itu, lahirlah para pahlawan sejati: mereka berjuang bukan demi nama, tapi demi bangsa, agama, dan kemanusiaan.

Sebuah catatan sejarah yang tidak akan pernah hilang ditelan zaman. Pahlawan merupakan sosok yang akan selalu dikenang. Karena pengorbanan mereka, bangsa Indonesia terbebas dari cengkeraman penjajah. Momentum ini harus kita jadikan peluang untuk membangun bangsa. Menciptakan kedamaian. Melahirkan inovasi yang berpihak kepada rakyat kebanyakan. Kemakmuran rakyat menjadi tanggung jawab kita semua.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Artikel ini akan membahas terkait pahlawan yang lahir dari bilik-bilik pesantren. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Tidak sedikit pejuang bangsa, baik yang telah diakui negara maupun yang hilang dari catatan sejarah lahir dari pesantren. Maka tidak ada salahnya jika kita menghidupkan ingatan. Menelusuri jejak pahlawan yang lahir dari pesantren.

Pesantren, Keberanian, dan Kebijaksanaan

Pesantren adalah miniatur Indonesia. Tempat di mana nilai spiritual, sosial, dan nasionalisme berpadu. Di sanalah ribuan santri digembleng bukan hanya untuk fasih membaca kitab, tapi juga untuk tangguh dalam berpikir dan bertindak. Dari bilik pesantren yang sederhana, bersahaja, komitmen terhadap hubbul wathon (cinta tanah air) begitu membahana. Membakar semangat juang demi mencapai kemerdekaan.

Pada masa penjajahan, pesantren tak sekadar tempat belajar agama — ia menjadi pusat perlawanan dan pembibitan patriotisme. Di bawah atap bambu dan penerangan lampu teplok, santri-santri muda menyiapkan diri menjadi pejuang: sebagian menulis doa dan syair perjuangan, sebagian lagi menenteng senjata bambu runcing.

Salah satu syair kemerdekaan Indonesia ditulis oleh KH Syarqawi. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantrem Annuqayah,  pesantren terbesar yang ada di Pulau Madura. Dengan syair kepahlawanan, Beliau turut berjuang membakar semangat patriotisme di kalangan santri. Syair yang mampu memberikan semangat, membangun karakter bangsa: patriotisme.

Jejak Pahlawan dari Dunia Santri

Banyak tokoh besar di negeri ini berakar dari tradisi pesantren. Sebagian sudah diakui negara, sebagian lainnya masih menunggu keadilan sejarah. KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 — seruan yang membakar semangat rakyat melawan penjajah di Surabaya. Tanpa seruan itu, mungkin tak ada peristiwa heroik 10 November yang kita kenal hari ini.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, memimpin gerakan pembaruan pendidikan Islam. Ia menanamkan kesadaran bahwa Islam harus menjadi kekuatan pencerah — bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam ilmu dan amal sosial. Hingga saat ini, pendidikan yang didirikan oleh pendiri organisasi Muhammadiyah ini terus berkembang. Membangun martabat edukasi di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa, KH Ahmad Dahlan yang merupakan sosok santri berkontribusi di dalam menegakkan nilai-nilai patriotik.

KH Zaenal Mustafa dari Tasikmalaya, berjuang dengan senjata melawan pasukan Jepang. Beliau dikenal berani, teguh, dan pantang menyerah. Meski gugur, semangatnya tetap hidup di kalangan santri pejuang. Kiai Zaenal Mustafa mewariskan keteguhan perjuangan kepada para santri untuk terus berupaya membangun peradaban dan meneguhkan persatuan dan kesatuan.

KH Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama RI, memperjuangkan agar dasar negara tak kehilangan ruh spiritualnya. Ia juga membuka ruang bagi pendidikan pesantren masuk dalam sistem nasional. Beliau lahir dari Pesantren Tebuireng yang dikenal loyal terhadap kemerdekaan. Sosok santri yang melahirkan semangat para santri untuk tetap pada koridor perjuangan: menegakkan persatuan, kesatuan, dan kemerdekaan.

KH Abdullah Sajad, Beliau gugur di tangan penjajah Belanda. Putra dari pendiri Pesantren Annuqayah ini tidak gentar sedikitpun menentang penjajah. Jika kemudian Beliau gugur, itu merupakan bagian dari risiko perjuangan. KH Abdullah Sajad menjadi pahlawan meskipun belum tercatat di piagam kepahlawanan.

Dari Aceh sampai Madura, dari Kalimantan hingga Sulawesi, jejak para ulama pejuang ini tersebar luas. Mereka mungkin berbeda mazhab dan manhaj, tapi memiliki semangat yang sama: membela tanah air sebagai bagian dari iman. Tentu tidak cukup tinta sejarah untuk mencatat para pejuang yang lahir dari pesantren. Namun nilai-nilai keabadian akan terus dikenang, bahkan meskipun tidak tercatat dalam piagam kepahlawanan.

Pahlawan Tak Tercatat, Tapi Tak Pernah Hilang

Tak semua pejuang pesantren mendapat tempat di buku sejarah. Banyak di antara mereka yang berjuang dalam diam — menjadi guru ngaji di masa perang, menyembunyikan pejuang di pondoknya, atau menulis surat-surat rahasia untuk gerilyawan. Pejuang senyap yang selalu hadir kapan di mana saja. Tanpa prosesi tabur bunga oleh pejabat berwenang.

Di lereng-lereng Gunung Muria, misalnya, para santri ikut mengatur strategi melawan penjajah Belanda. Di Madura, para kiai menjadi penengah konflik dan penjaga moral rakyat. Di Sumatera Barat, pesantren menjadi benteng pendidikan dan perlawanan kultural terhadap kolonialisme.

Mereka tak punya medali, tak ada patung untuk mengenangnya. Tapi setiap lantunan doa dan setiap lembar kitab yang mereka ajarkan adalah bukti pengabdian tanpa batas.

Tidak sedikit pejuang yang lahir di bilik pesantren tidak tercatat dalam tinta sejarah. Karena mereka tidak ingin dielu-elukan. Mereka ingin berjuang semata karena cinta tanah air dan karena hanya mengharap Ridha Allah SWT. Bukan berarti mereka yang tercatat dalam piagam kepahlawanan adalah pamer. Akan tetapi, setiap personal memiliki kemauan. Setiap orang tidak sama dalam menerjemahkan nilai kepahlawanan.

Setiap kita adalah pahlawan. Jika, dan hanya jika kita berjuang untuk kepentingan bangsa. Mungkin kita tidak akan pernah tercatat di lembar sejarah. Namun, kita akan tetap dikenang sebagai bagian dari pembangun bangsa. Menjadi bermanfaat bagi orang banyak adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

Dari Bilik Pesantren untuk Indonesia

Kini, pesantren telah berubah wajah. Santri tak lagi hanya menghafal kitab, tapi juga menulis jurnal, mengelola media, menulis di duniasantri.co, mengembangkan teknologi, bahkan juga berwirausaha. Namun satu hal yang tak berubah: jiwa kepahlawanan mereka. Ruh kepahlawanan akan selalu hadir di lubuk hati kita yang paling dalam.

Menjadi santri di masa kini berarti melawan kebodohan dengan ilmu, melawan kebencian dengan toleransi, dan melawan kemalasan dengan kerja keras. Mereka adalah pahlawan di tengah derasnya arus zaman — penjaga akhlak di dunia yang makin bising.

Pahlawan sejati tak selalu lahir di medan perang. Kadang mereka lahir di ruang-ruang kecil, di mana doa dan tekad berpadu. Pesantren adalah tempat semacam itu — tempat para generasi muda belajar menjadi manusia seutuhnya: cerdas, berani, dan beriman.

Dari bilik-bilik itu, bangsa ini tumbuh dan menemukan arah. Dari pesantren, Indonesia belajar arti merdeka. Bukan hanya bebas dari penjajahan, tapi juga dari kebodohan, ketamakan, dan keputusasaan. Menjadi santri yang benar-benar diharapkan sebagai pelopor kebangkitan nasionalisme.

Dan selama pesantren masih berdiri, selama santri masih mengaji dan berjuang, semangat kepahlawanan itu tak akan pernah padam. Bermunajat di gelap malam, menempa diri dengan tahajud. Terus berdaya upaya untuk membentuk karakter yang dapat membangun negara: Baldatun Toyyibatun wa Robbun Ghafur. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan