Pahlawan (Orde) Baru

Menjelang Hari Pahlawan 10 November 2025 ini, kita sudah dihadirkan dengan sebuah isu tentang penyematan gelar pahlawan kepada mantan presiden Soeharto. Kontroversi di ruang publik ini mengingatkan saya pada dawuh Kiai Achmad Zaini Pakondang, Rubaru, Sumenep; bahwa matinya pemerintah renten menyebabkan fitnah.

Bayangkan saja, ketika kriteria kepahlawanan tidak lagi diikat oleh nurani publik dan kesadaran sejarah, melainkan hanya peduli pada kepentingan politik yang sedang berkuasa, maka gelar “pahlawan” bisa berubah menjadi komoditas simbolik yang diperdagangkan atas nama stabilitas, nostalgia, atau barangkali rasa bersalah kolektif bangsa yang belum selesai berdamai dengan masa lalunya.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Sebagaimana kita tahu, Soeharto memang tokoh besar (dan keras kepala. Hehe). Ia memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, menancapkan pengaruhnya ke segala sendi kehidupan sosial, ekonomi, hingga budaya.

Di satu sisi, banyak orang mengenang masa Orde Baru sebagai era ketertiban, pembangunan infrastruktur, dan harga kebutuhan pokok yang relatif stabil. Namun, di sisi lain, ada memori kelam tentang pembungkaman kebebasan, penahanan sewenang-wenang, kekerasan terhadap lawan politik, serta pelanggaran HAM berat yang hingga kini belum mendapat penyelesaian yang layak.

Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah bangsa yang sehat boleh menutup sebelah mata terhadap luka-luka sejarah demi menjaga kenangan yang “manis” dari masa lalu? Kiw-kiw.

Kita seakan hidup di zaman di mana sejarah tengah berusaha direvisi oleh kenangan. Meminjam frasa dari Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Communities (1983), bangsa adalah sebuah komunitas yang “terbayang” dan terbentuk bukan hanya oleh darah dan tanah, tetapi juga oleh narasi yang kita sepakati bersama. Jika narasi itu kemudian dipelintir demi kepentingan politik tertentu, maka yang terancam bukan hanya kebenaran sejarah, melainkan juga keutuhan imajinasi kita sebagai bangsa. Pahlawan, dalam pengertian yang luhur, semestinya adalah figur yang menginspirasi keadilan, bukan sekadar simbol dari stabilitas semu.

Dan fenomena glorifikasi terhadap tokoh-tokoh Orde Baru sebenarnya bukan hal baru. Di media sosial, misalnya, sering muncul nostalgia terhadap masa “Soeharto beras murah, dan sebaginya.”

Nostalgia semacam ini, bagi saya, adalah pelarian dari ketidakpastian zaman sekarang—dari inflasi, politik yang gaduh, dan rasa kehilangan arah terhadap masa depan bangsa. Karena, nostalgia yang tak disertai refleksi kritis berisiko meninabobokan kesadaran publik. Ia bisa membuat kita melupakan bahwa kemakmuran tanpa kebebasan adalah kemewahan yang rapuh, dan ketertiban yang lahir dari ketakutan bukanlah kedamaian sejati, bukan?

Mungkin inilah yang tersirat dalam “pemerintah renten” yaitu kekuasaan yang menggantungkan diri pada masa lalu tak akan mampu membaca zaman. Hari ini kita hidup di era demokrasi, di mana setiap gelar kehormatan semestinya diukur dengan transparansi moral dan kejujuran sejarah.

Memberi gelar pahlawan kepada tokoh yang masih menyisakan perdebatan tajam bukanlah penghormatan, melainkan lebih masuk pada pengaburan makna kepahlawanan itu sendiri. Dan itulah yang terjadi saat ini.

Sumber ilustrasi: rimba sketsa.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan