Lelaki tua itu datang sore ini. Ia membawa onthel kesayangannya. Tak lupa ia membawa capil lusuh berwarna kuning tua. Memakai kemaja baris-baris dan celana yang tak jelas antara warna abu-abu atau hitam. Sepertinya ia telah menyelsaikan kebiasaanya setiap hari kamis sore, mengunjungi kuburan sekaligus membersihkan rumput-rumput yang mengerubungi makam orangtua dan sanak familinya.
Kuhampiri ia sambil kulemparkan senyum mengembang. Ia balas senyumku dengan tatapan yang teduh dan pertanyaan sederhana, “Piye kabarmu, Ziz?” Dengan cekatan kucium tangannya yang hitam dan kasar itu. Sangat kasar. Bisa kau bayangkan tangan yang saban harinya digunakan untuk ngarit dan kadang juga memotong kayu-kayu besar untuk diantarkan ke pabrik mebel itu bertabrakan dengan tanganku yang lebih banyak kugunakan untuk bermain gadget dan sesekali saja membuka buku dan mencatat.
Terjadilah percakapan antara aku dan dia. Layaknya basa-basi, aku pun tak mau kalah untuk bertanya tentang kabar ia, keluarganya, dan anak semata wayangnya yang usianya tidak terlalu jauh di bawah usiaku.
“Dia sudah lama kusekolahkan di Pondok Petung. Syukur alhamdulillah sudah berlalu dua tahun dan sepertinya ia sudah kerasan di sana.” Jelasnya.
Wah, cukup lama sudah aku tak bertemu dengan putra tunggalnya. Terakhir kali aku tahu kabar tentangnya adalah ketika ia masih dipondokkan di daerah pesisir Brondong dan itu pun kerapkali aku tahu ia pulang seenaknya. Pernah sekali waktu aku berpapasan dengannya. Kulihat ia seperti tak kerasan di pondoknya itu, senyumnya pun seperti lenyap entah ke mana, hanya tampak wajah yang murung dan acuh. Dan di pondok itu ia akhirnya bertahan hanya satu tahun saja, kemudian pulang dan tidak mau sekolah.
Sementara sekarang, ia kuat bertahan selama dua tahun. Semoga saja ia kerasan di sana dan sedikit mengurangi beban orang tuanya yang harus pontang-panting bertahan hidup sebatang kara, batinku.
Lelaki tua yang berada di hadapanku ini memang sudah lama ditinggal mati istrinya. Ia hanya memiliki dua saudara, dan salah satu dari saudara laki-lakinya harus rela terkucilkan entah dibawa ke mana sebab memiliki kelainan jiwa, sementara sisa keluarganya tak mampu membawa ke rumah sakit yang bisa dikatakan pantas untuk mengobati atau sekadar mendiagnosa penyakit apakah yang diderita.
Pernah suatu ketika, saudara perempuannya ingin membawa ke beberapa pengobatan alternatif yang secara biaya lebih murah daripada Rumah Sakit Swasta. Akan tetapi usaha itu malah semakin membuat Lek Ham—pangilan akrabnya—semakin depresi dan uring-uringan. Seusai dibawa oleh saudara perempuannya itu, Lek Ham makin sering murung dan susah untuk disuruh makan. Padahal sebelumnya Lek Ham biasa jalan-jalan keliling desa, menonton bocah-bocah yang asyik bermain neker atau benti’an sampai senja memerah dan terdengar qiroah dari corong-corong masjid tanda akan tiba waktu maghrib, baru setelah itu ia dengan sendirinya pulang. Begitulah sehari-hari Lek Ham menghabiskan sisa-sisa usianya, sebelum kemudian ia menghilang entah dibawa ke mana.
Sebenarnya aku ingin sekali menayakan kabar Lek Ham. Tapi kuurungkan, mungkin ini bukan saat yang tepat.
“Kau masih mondok di Gresik, Ziz?” Ia bertanya.
“Iya, Pakdhe, pengestunipun.”
Begitulah. Ia sebenarnya masih tergolong keluarga jauh. Aku masih tercatat sebagai kemenakannya. Hanya saja tempat tinggalnya berada di desa sebelah. Ia seringkali kunjung kemari berziarah, sebab makam orang tuanya berada di desaku.
Selagi ia duduk nyaman di kursi ruang tamu. Aku masuk ke dalam rumah untuk mencari air mineral, sekaligus mencarikan kudapan yang mungkin masih ada di ranji, tempat berkumpulnya jajanan dari berkat-berkat kenduren yang tersimpan.
Setibanya di ruang tamu, kupersilahkan ia untuk minum dan mencicipi kudapan yang kubawa. Selebihnya aku lebih banyak diam. Atau lebih tepatnya merenung, berbicara dengan diriku sendiri tentang Pakdheku ini.
Ketika kupandangi wajahnya yang legam, kusut, dan rambut beruban yang tak begitu terawat. Seketika terbayang hari-harinya yang setiap pagi harus mengumpulkan rumput untuk kambing-kambing peliharaannya, yang itu bukan miliknya, hanya dipasrahi untuk merawat dan ketika beranak akan dibagi dengan pemilik aslinya.
Padahal aku tahu sendiri. Dari cerita masyarakat yang biasa ngerumpi setelah tahlilan, musim panas kali ini cukup lama dari hitungan umumnya. Kebanyakan dari mereka yang mempunyai kambing atau sapi memilih jalur alternatif untuk membeli rumput di desa sebelah yang itu adalah rumput hasil fermentasi, bukan rumput hijau asli yang masih segar. Sementara aku sangat yakin Pakdheku ini tidak mungkin sanggup untuk mengikuti cara merawat kambingnya dengan membeli rumput fermentasi itu.
Aku juga pernah mendengar bahwa Pakdheku ini, di samping menerima jasa perawatan hewan ternak, juga biasa diajak untuk menjadi tenaga pekerja di saat musim panen tiba, tapi bukankah tahun ini hama tikus sedang gawat-gawatnya. Kabar ini pun kudengar dari hasil ngerumpi setelah tahlilan yang diadakan seminggu sekali itu. Bisa kau bayangkan sendiri, betapa gentingnya hama tikus ini sampai-sampai dalam kurun waktu dua bulan lebih tak ada tema lain yang lebih menarik untuk dibahas, entah di sela-sela kenduren atau di meja-meja warung kopi, selain tentang hama tikus ini.
Keadaan yang semacam ini jelas berpengaruh besar pada Pakdheku ini, terlebih untuk pekerjaan serabutannya.
Tapi anehnya, sekian kali aku berpapasan atau bertemu dengannya, tak pernah sekalipun kulihat ia tampak murung atau gelisah. Selalu Pakdhe tampil dengan wajah yang datar dan cenderung tanpa ekspresi, kecuali kepada yang ia kenali, seperti aku, senyumnya akan segera terkembang. Sebagai remaja tanggung sepertiku ini, contoh-contoh manusia seumpama Pakdhe selalu menggelitik di benakku. Sekilas hidupnya seperti terkurung di bawah standar sederhana, tapi ketika kau ajak ia berbicara atau bercerita perihal kehidupannya, dengan hanya mengamati dan mendengarkan suara sahajanya, ia malah seperti sedang memberimu energi, betapa dalam hidup ini masih ada berjuta hal yang pantas untuk disyukuri dan diperjuangkan sungguh-sungguh. Tak peduli betapa berlikunya jalan takdir yang sedang kau hadapi, tetaplah jaga harapan-harapan baik di hari depan.
Rasa syukur dan pikiran yang positif dari orang-orang yang kujumpai selalu mampu menjeratku dalam perasaan nyaman dan bahagia. Hidup jadi terasa lebih berwarna dan tubuh menjadi segar dan ringan untuk melakukan segala aktivitas, bahkan kadang malah mendorong untuk segera melakukan berbagai macam hal baik dan cita-cita yang luhur tapi tetap bersahaja. Apakah Pakdhe tahu apa yang sedang kupikirkan? Entahlah, semoga kebaikan selalu menyertaiku dan dia juga kita semua, batinku.
“Bapak-Ibumu pergi kemana, Ziz?” tanya Pakdhe memecah suasana diam yang berlangsung cukup lama. Hanya suara televisi saja yang sedari tadi kami dengarkan.
“Mereka pergi ke acara pernikahan anak dari temannya bapak, Pakdhe, aku malas untuk ikut. Di rumah saja lebih enak.” Kujawab sekenanya sambil terus memasang senyum mengambang. Kemudian Pakdhe meminta izin untuk pamit pulang. Kuantarkan ia sampai ke teras depan, tak lupa kulempar senyum dan salam pamitan sebelum ia mengayuh onthel tuanya dan hilang dari pandanganku.