Kita mengingat KH Syaifudin Zuhri. Kita mengingat memoarnya dalam Berangkat dari Pesantren. Beliau berkisah bagaimana pengalamannya nyantri di Surakarta. Tepatnya di Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum. Pondok pesantren di lingkungan elite para bangsawan Keraton Surakarta masa itu.
Melalui bukunya, Bagus Sigit Setiawan mengajak kita berkelana ke Surakarta masa silam. Menggenapi ingatan kita tentang kota Bengawan.
Selain sebagai epicentrum budaya, kita diperlihatkan wajah lain Surakarta. Surakarta sebagai kota santri. Bukti konkret ini bisa kita lihat dengan banyaknya pesantren di kota Bengawan. Sigit menceritakat kesantrian kota Surakarta melalui kepingan esai yang dikumpulkan selama pandemi Covid 19.
Sigit memperlihatkan kepada kita sejarah awal bagaimana islamisasi bergeliat. Perang Jawa menjadi tonggak. Pasca penangkapan Pangeran Diponegoro, para abdinya mulai menyebar dan memberikan perlawanan dengan cara baru, yakni mendirikan masjid, surau, dan pondok pesantren. Dari sinilah ulama kenamaan seperti Kiai Idris Jamsaren muncul.
Dari Jamsaren inilah kemudian muncul secara sporadis pondok pesantren di wilayah Surakarta -konon hingga Jawa Timur.
Lebih lanjut, Sigit menjelaskan melalui Kiai Idris Jamsaren, tokoh tarekat Syadiliyah terkemuka di Jawa Tengah, jalur sanad kemudian menyebar di Pulau Jawa. Pondok yang sudah hampir dua abad ini memainkan peran vital sebagai tempat menimba ilmu agama Islam.
Inilah tonggak islamisasi di Surakarta. Dengan dukungan penuh Sinuhun Paku Buwono X banyak pondok yang berdiri. Bahkan, Sinuhun sendiri memprakarsai berdirinya Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum yang diasuh oleh Kiai Dimyati.
Pondok ini diperuntukkan mendidik calon raja dan juga penghulu keraton. Bahkan, Nancy K Florida menjelaskan bahwa selain pujangga, calon pejabat Keraton Kasunanan juga mengenyam pendidikan pesantren. Ini menunjukan sebagian besar pejabat Keraton Surakarta merupakan kaum santri. Maka tak heran bila kemudian berdiri wilayah di sebelah utara keraton dengan sebutan Kauman -akronim dari kampunge wong beriman. Dan dari pondok inilah kemudian kita akan mengenal tokoh sekaliber KH Syaifudin Zuhri, Mahbub Djunaidi, dan masih banyak lagi.
Selain di lingkungan Keraton Surakarta, kita dapat melihat di sebelah selatan keraton, tepatnya di daerah Pasar Kliwon tempat berkumpulnya habaib. Para cucu Nabi SAW berkumpul di Pasar Kliwon dengan mendirikan masjid yang diberi nama Masjid Assegaf. Selain mendirikan masjid, di Pasar Kliwon juga mereka mengadakan kajian-kajian Islam.
Perkembangan ini tak hanya terjadi pada elite Jawa dan juga kampung Arab Pasar Kliwon. Geliat ini juga menyentuh lapisan masyarakat.
Mari sejenak membaca sejarah kiri di Surakarta. Kita tentu bakal mengingat sosok Haji Merah, Haji Misbach. Haji Misbach melalui gerakan SATV (Sidiq, Amanah, Tableg, Vatona) kaum gerakan yang banyak diisi oleh para santri dan juga pedagang batik.
Melalui corongnya yang bernama Medan Moeslimin dan Islam Bergerak, dibantu oleh Mas Marco Kartodikromo, Haji Misbach memberikan perlawanan lewat tulisannya yang tajam dan membuat kumpeni panas kupinya.
Meski dikenal sebagai sosok kiri, Misbach nyatanya adalah kaoem putihan –istilah saat itu untuk menyebut kaum muslimin. Marco mengenang sosok Misbah, “Pada waktoe itoe ia seorang islam jang berniat menjiarkan islamnja setjara jaman sekarang: membikin soerat kabarislam, sekolah islam, berkoempoel meremboek igama islam dan hidoep bersama.”
Tak hanya itu, di Surakarta melalui Syarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H Samanhudi, diorganisasi pedagang batik laweyan. Kelak, syarekat dagang ini menjelma sebagai gerakan parlementer-Volksraad– yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto. Cokro kemudian mengubah SDI menjadi SI atau Syarekat Islam.
Selain melalui Volksraad, SI juga bergerak di bidang pendidikan dengan mendirikan Sekolah-sekolah Rakyat. Sekolah ini tersebar ke seluruh cabang SI, seperti yang dikisahkan Tan Malaka dalam brosurnya ‘Syarekat Islam Semarang dan Onderweij’.
Inilah kepingan kecil Surakarta. Tak hanya sebagai koata budaya, Surakarta juga memainkan peran penting dalam menggalakkan pendidikan model pondok pesantren. Bahkan sepak terjang santri surakartan tak terbatas pada pendidikan, pengorganisaian kaum mustadz’afien melalui perserikatan, corong-corong surat kabar, parlemen, dan banyak lagi.
Santri Surakarta memainkan sejarah sebagai sebuah keniscayaan. Kompleks rekam jejak kaum santri di Surakarta tak bisa kita perkecil peranya. Santri surakaratan membersamai pasang dan surut Kota Surakarta sebagai kota santri. Betoel begitu.
Judul Buku : Santri Surakartan
Penulis : Bagus Sigit Setiawan.
Tahun terbit : 2021
Penerbit : Sigit book
Tebal buku : xxxi + 245
ISBN : 978-602-5583-41-4