Dari tadi sore langit belum juga kunjung berhenti menurunkan hujan. Sesekali suara guntur menggelegar memecah kesunyian malam. Sesekali pula kilat menyambar, menyinari kelamnya alam pedesaan tanpa lampu listrik. Bersamaan hujan deras tadi sore lampu juga ikut padam. Kabarnya ada salah satu tiang listrik tepian jalan yang tumbang. Aku baru pulang dari rutinan tahlil malam Jumat. Dan rumahku tampak gelap. Ketika aku membuka pintu suasana sepi menyergapku. Ada sinar redup di kamar. Bercahayakan lilin temaram membuat malam terasa syahdu. Dua anakku sudah terlelap dalam tidur. Aku segera merebahkan badan. Kudekap istriku erat.
“Kamu nggak kedinginan, Dik?” godaku.
“Enggak, selimutku tebal begini Mas, mana mungkin dingin?” Dia menjawab ketus, tangannya melepas dekapanku. Entah kenapa dia malah geser menjauhiku.
“Tapi aku masih dingin, apalagi lilinnya bersinar redup. Enaknya dipeluk.”
“Makanya beli lampu kayak punya Mbak Lita. Terang. Cukup di-charge bisa dipakai berulang kali. Nggak takut kebakaran. Tetanggaku di kota sana mati terbakar karena lilinnya jatuh ke kasur,” istriku kembali memberi jawaban bernada protes.
“Nanti kalau ada rezeki kita beli ya,” jawabku, kembali merapatkan dekapan.
Sial. Dia kembali menjauhiku.
“Jangan dekat-dekat Mas, badanku terasa meriang. Pilek. Hidungku tersumbat, terasa pengap dan sumpek.”
“Meriang? Merindukan kasih sayang?” gurauku.
Tak ada jawaban. Selimut tebal justru membuntal sekujur tubuhnya dengan sempurna. Tak tahu kenapa, aku kesal.
“Malaikat melaknat seorang istri yang menolak ajakan suami. Bukan untuk apa, tapi ini adalah hadits Nabi. Tak ingin aku melihat istriku dilaknat malaikat sepanjang malam,” aku bernasihat menyitir hadits Nabi, sebuah nasihat untuk para istri sekaligus pembelaan untuk para suami.
“Tak ada nafkah, tak ada jatah. Itu ungkapan Bu Nyai Muzayanah pas di pondok dulu,” tangkisnya cepat. Aku menelan ludah.
“Apa kamu merasa tak mendapat nafkah dariku?” Ah, aku mulai emosi. Benar-benar malam Jumat yang tak sesuai harapan.
“Aku nggak bilang gitu. Udah ah Mas. Bening lagi kurang enak badan nih. Flu,”
Hatiku mencelos melihat istriku malah memunggungiku, malam-malam Jumat begini.
“Kok tiba-tiba flu? Kamu habis dari mana seharian tadi? Jangan-jangan kena koro…”
“Seharian ke mana? Momong anakmu, Mas. Kamu yang seharian nggak pulang. Udah nggak bantu apa-apa. Pulang tangan hampa pula, kecut. Kecut banget Mas!”
“Lho … Lhoo. Seharian aku rapat para pemuda, bahas tasyakuran dan pengajian di masjid merayakan terbebasnya desa kita dari korona. Bukankah sejak awal nikah kita bertujuan untuk sama-sama berjuang menjunjung agama-Nya? Kamu lupa nasihat kiai kita pas di pondok dulu itu?”
“Bukannya lupa. Tapi Mas juga harus ingat dan paham keadaan. Coba lihat lilin itu Mas,” pintanya.
Aku melihat lilin redup itu penuh penasaran. Apa maunya istriku ini?
“Memanga kenapa? Nggak ada yang aneh. Cuma lilin redup yang dikerumuni laron, apanya yang istimewa?” sahutku.
“Nah itu! Kamu tahu Mas, kenapa lilin harganya murah? Nggak istimewa? Padahal dia juga bermanfaat,” tanya Bening, istriku. Suaranya yang tertahan di hidung terdengar indah di telingaku. Tapi malam ini dia sedang menjengkelkan.
“Karena dia harus mengorbankan dirinya sendiri untuk menyinari orang lain.”
Kulihat laron-laron itu beterbangan di sudut-sudut kamar.
“Nah. Harusnya Mas dapat mengambil pelajaran dari lilin itu. Kālau selama ini Mas sibuk memancarkan cahaya untuk orang lain di luar sana. Harusnya tengok rumah sendiri dulu. Apakah rumahmu sudah cukup terang?”
Aku menelan ludah, merasa tertampar.
“Sudah beberapa hari yang lalu gas LPG habis. Hujan-hujan aku harus cari utangan ke rumah Mak Lik sampai kena flu. Harusnya Mas paham itu. Bersinarlah dulu di dalam rumah sebelum menyinari dunia di luar sana.”
Menangis. Wanita yang kunikahi sepuluh tahunan yang lalu itu menangis tersedu. Dan mataku nanar memandang ke arah lilin yang semakin redup. Mungkin istriku benar, cahayaku seredup lilin itu. Dan telah kukorbankan cahaya dalam rumah ini. Hujan semakin menderas. Kupejamkan mataku untuk menutup redupnya dunia.
Sepulang menjajakan kerupuk sore berikutnya kulihat istriku sedang menyuapi anakku yang kedua. Aku melangkah tanpa tenaga. Segan untuk menghampiri mereka. Beberapa hari tidak menjajakan kerupuk ternyata langgananku banyak yang beralih ke pedagang lain. Lagi-lagi hari yang kecut terpapar di hadapanku.
“Ada undangan!” teriakannya menghentikan langkahku. Akhirnya aku menghampiri mereka. Kukecup pipiku anakku.
“Disuruh bantu hajatannya Pak Ramin,” ucapnya tanpa melihatku.
“Resepsi anaknya yang jadi bidan desa itu?” tanyaku.
“Nggak tahu, iya paling. Sudah, mandi dulu sana. Gantian.”
Dan aku turuti perintahnya.
Sembari ke kamar mandi aku menyalakan kompor untuk menjerang air. Sepertinya kopi panas terasa pas di suasana dingin seperti ini. Di luar sana lagi-lagi terdengar suara rintik hujan. Naas, kompor tak menyala. Ternyata LPG memang habis. Kutengok ada bekas abu dan kayu bakar di depan tungku. Aku lantas ke kamar mandi. Namun kemudian langkahku terhenti.
“Kālau mau buat kopi ambil air di kuali! Di atas tungku!” teriak istriku dari teras depan. Rupanya dia mendengar aku berkali-kali memutar petikan untuk menyalakan kompor.
* * *