Di desa tempat saya tumbuh, langgar adalah bangunan yang lebih sakral ketimbang kantor kelurahan. Langgar tidak hanya menjadi tempat salat lima waktu. Ia juga tempat semua luka sosial menemukan sedikit balsem spiritualnya.
Di langgar, ibu-ibu yang ditinggal suami ke rantau menitipkan doa dan air mata; petani yang gagal panen bersimpuh dalam sujud yang panjang; anak-anak belajar menyusun huruf-huruf hijaiyah seperti sedang membangun kembali harga dirinya.

Langgar tidak mengenal kasta. Yang datang tak ditanya dari RT mana, siapa bapaknya, atau kerja di proyek mana. Di langgar, semua menjadi sama: makmum. Yang membedakan bukan kekayaan atau status, tetapi seberapa cepat ia meresapi panggilan azan.
Teologi Kesederhanaan
Langgar mengajarkan satu hal yang kini jarang dijumpai di kota-kota besar: teologi kesederhanaan. Tidak ada hiasan kubah berlapis emas. Tidak ada lampu gantung kristal yang menyilaukan. Bahkan, terkadang tidak ada sajadah—hanya tikar pandan yang disapu bersih. Tapi justru dalam kesederhanaan itulah nilai Islam tampil murni: tanpa pretensi, tanpa simbol yang memecah.
2 Replies to “Pelajaran dari Langgar Desa: Teologi Kesederhanaan”
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.
Populer
Dari Perdikan Menoreh ke Pesantren Properti**Surat Kepada S.H. Mintardja dan Ir Bambang Ifnurudin Hidayat Tuan-tuan, S...
Jurumiyah dan Filosofi Pendidikan PesantrenDi atas lantai pengajian, antara goretan pulpen dan gumaman doa, pesantren...
Anak-anak Kiai Hari IniDi era digital yang semakin mendominasi ruang sosial manusia, muncul sebuah...
Menata Ulang Takzir di PesantrenAturan dan tata tertib adalah hal yang tak pernah terlepas dari dunia pesan...
Trending
Jebakan PopularitasBeberapa waktu terakhir, dunia maya diguncang oleh sosok yang viral di jaga...
Santri NakalApa perbedaan antara santri dan bukan santri? Kalau ada bedanya, itu terlet...

Indah sekali bahasanya, mantap,,,,
Alhamdulillah