Di dunia santri dikenal santri kalong atau santri ngalong. Istilah ini sebagai sebutan bagi santri yang mukim di kampung dan tidak tinggal di dalam pondok pesantren. Mereka hanya ikut kegiatan mengaji pada malam hari saja. Selebihnya, mereka menghabiskan waktu di rumah mereka masing-masing. Julukan tersebut muncul karena santri yang ngalong berangkat mengaji pada malam hari dari rumah mereka, mirip dengan kebiasaan kalong atau kelelawar yang beraktivitas pada malam hari.
Tulisan ini merupakan pengalaman pribadi menjadi santri kalong. Tinggal di lingkungan pesantren menjadikan kultur keluarga kental akan budaya pesantren. Meskipun tidak ada yang pernah merantau ke pondok pesantren yang jauh, tetapi religiusitas keluarga saya begitu kuat. Oleh karena itu, pada tahun 2015 saya didorong untuk masuk ke pesantren, untuk belajar agama dan menjaga tradisi keluarga Ayah, yang semua anggota keluarganya yang laki-laki ngaji di pesantren.
Saya tinggal di sebuah desa bernama Cintamulya, di Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Dan sejak pertama kali menulis, saya belum pernah membahas mengenai desa itu dari sisi religiusitasnya. Desa saya mendapat julukan sebagai desa santri dari ulama atau habaib yang pernah bersafari di sana.
Julukan itu berasal dari banyaknya pondok pesantren yang berdiri di desa itu. Terdapat tujuh pondok pesantren yang secara administratif terdaftar di Kementrian Agama. Ada juga pondok-pondok pesantren yang masih baru merintis dan belum terdaftar secara kelembagaan di Kementrian Agama. Artinya, secara rasio di setiap satu RW ada satu pondok pesantren.
Banyak pesantren itulah yangmembuat desa saya memiliki kultur atau tradisi keislaman begitu kuat. Bahkan sampai saat ini 100 persen penduduk desanya adalah muslim. Agama Islam dan pondok pesantren menjadi simbol yang dipertahankan oleh masyarakat. Meskipun secara praktikal, para santri yang belajar di pondok pesantren 90 persen adalah perantau dari desa lain.
Acara-acara keagamaan tidak pernah sepi dari jamaah. Dai kondang, ulama terkenal, ustaz masyhur, dan bahkan habaib tidak pernah absen untuk mengisi kegiatan tersebut. Masyarakat secara turun temurun menjaga tradisi keislaman tersebut, dengan tidak mengurangi rasa toleransi.