Mohammad Iqbal dalam bukunya The Recontruction of Religius Thought in Islam menyebutkan bahwa munculnya tasawuf merupakan sebuah protes bisu melawan kekuatan politik aristokrasi, ketidakadilan sosial, dogma-dogma agama yang cenderung formal dan kering. Bahkan, ia menilai para sufi telah berhasil menyelamatkan warisan spritual Islam sejak ditinggal Rasulullah.
Sejauh ini, pemahaman kita mengenai sufi adalah tentang ahwal dan maqamat. Kedudukan spritual yang harus dilalui oleh para pejalan spritual sebelum bisa mencapai ujung perjalanan. Taubat, wara, zuhd, faqr, sabr, tawakkal, dan rida adalah etape jalan yang harus dilalui.
Buku Aku Berkelana Maka Aku Ada yang diterjemahkan dari kitab al–Siyahah, al-Safal ila Allah ini merupakan kumpulan kisah para pengembara dalam rangka mencari Sang Khalik, mencari Kekasih yang Maha Kasih. Hadirnya buku yang diterjemahkan oleh Hilman Hidayatullah Subagyo ini memberikan warna tersendiri terhadap pemahaman kita selama ini mengenai sufi.
Hilman sebagai penerjemah berhasil menyampaikan pesan-pesan yang tersembunyi dengan bahasa yang lugas, sederhana, dan mudah dipahami. Acap kali, kita menjumpai beberapa buku terjemahan tidak cukup mewakili pesan yang disampaikan oleh penulis sehingga pembaca kesulitan memahami kalimat tersebut. Meski masih dijumpai beberapa bahasa yang sukar dimengerti, selebihnya buku ini menambah wawasan mengenai beberapa kisah ulama sufi yang jarang kita dengar.
Dalam buku ini, ada banyak kisah para wali yang melakukan pengembaraan dalam rangka mencari Tuhan. Mengembarai luasnya daratan, bagi para wali, adalah mengakui kemahaagungan Sang Pencipta.
Sebagai pembuka, Khalid Tsabit mengupas siyahah, yakni pengembaraan ke berbagai tempat untuk menemukan Allah. Adapun, Ja’far al-Khudi memetakan siyahah menjadi dua varian. Pertama, siyahah dengan jiwa raga, yakni melakukan perjalanan di muka bumi untuk menemui para wali serta memetik pelajaran memamui berbagai jejak kuasa Allah yang Maha Gagah lagi Maha Agung.