Tiap kali ditiup, yang keluar cuma suara yang itu melulu: lirih, serak, dingin. Tapi ia tak pernah berhenti meniup. Dan ia enggan berhenti berjalan. Ia masih saja meniup. Ia masih saja melangkah. Maka, tret-tret-tret…tet-tet… suara itu terus saja menjelajah, lirih dan lamban, dan hiruknya sudut-sudut kota itu sigap menelan.
Lelaki itu akhirnya memilih: waktu tak boleh ditunggu, ia harus dijemput dari masa lalu. Maka, ketika orang ramai bersiap menyobek lembar terakhir penanggalan dengan lekas, ayun langkahnya kian gegas, bersicepat menapak tilas. Dan ia akhirnya memilih: Singaraja, dan bukan Kuta, adalah tilas waktu yang masih membekas.
Kuta baginya cuma sebuah kerumunan. Di mana gedung-gedung yang dibangun berderet jangkung adalah tugu yang bisu. Di situ, semua orang berbicara, tapi tak pernah saling bertukar cerita. Pantainya memang masih seperti permadani, tapi yang menghampar tergelar hanyalah ilusi. Dengan dua kaki berpijak di atas hamparan ilusi, orang tak akan pernah benar-benar bersetia pada janji.
Maka ketika senja turun perlahan, ia telah berdiri di pinggir sebuah jalan. Inilah kota tua yang masih selalu menyimpan magmanya —seperti para penyairnya dengan berjuta mantra; seperti para penarinya dengan berjuta bunga; seperti tetabuhannya yang menggaungkan berjuta gema. Seperti gema yang bersahutan dari sudut-sudut kota yang menandai sebuah kurun yang datang membantun, mengurai kenangan lama yang berunggun.
Kemudian ia berjalan, mula-mula perlahan. Tangan kirinya mengempit sebuah terompet kertas yang ia pungut dari sisi sebuah comberan. Terompet itu gepeng entah karena terlindas roda atau terinjak kaki siapa. Terompet itu tak lagi tampak meriah. Warnanya ungu dan layu.
Ia mencoba meniupnya. Tret-teet-tet… nadanya lirih, serak, dingin. Tak apalah, dan ia tetap melangkah dengan hati bungah. Dengan terompet itu, ia ingin menjemput waktu dari masa lalu. Masa lalu yang masih tertinggal di sini, di kota tua yang masih menyimpan magmanya. Sebuah kota yang dulu, bertahun-tahun lampau, pernah mengenalkannya pada dunia. Sebuah kota yang dulu selalu mengajaknya bertukar cerita, yang selalu bercerita tentang siapa dirinya.