Berbicara tentang emosi, tak luput kaitannya dengan amarah. Dan tak ada manusia di dunia ini yang tidak pernah marah. Bahkan, Nabi Muhammad pun pernah marah kepada Aisyah, istri yang amat dicintainya. Namun, marahnya Nabi Muhammad tidak seperti marahnya kita sebagai manusia biasa yang senantiasa cenderung melukai diri sendiri.
Seperti diriwiyatkan dalam sebuah kisah bahwa Rasulullah pernah ada perasaan marah kepada Aisyah. Musababnya, istri Rasul tersebut terus-menerus cemburu pada Khadijah (istri pertama Rasulullah yang pada waktu itu telah meninggal dunia). Kemudian, beliau berkata dan memerintahkan kepada Aisyah, “Tutuplah matamu.” Maka Aisyah pun menutup matanya. Ketika dalam posisi tersebut, beliau mendekat dan memeluk Aisyah sambil berkata, “Ya Humaira-ku, marahku telah pergi setelah aku memelukmu.” (HR Muslim).
Kita ketahui bahwasa Rasulullah tidak serta-merta memarahi Aisyah karena terlalu cemburu pada siti Khadijah. Namun, sebaliknya Rasullullah justru memeluknya dengan kasih saying sebagai bentuk ekspresi dari marahnya beliau. Tentunya hal tersebut patut sekali dicontoh terutama bagi kaum muslim. Karena, tak sedikit di antara kita yang sensitif dan gampang marah oleh hal-hal sepele bahkan hal yang tidak masuk akal. Dan yang lebih parahnya lagi banyak di antara kita yang senantiasa kalut, tidak bisa mengontrol emosi dan cenderung melukai diri sendiri bahkan sampai memakan korban jiwa. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan sikap marah Rasullullah.
Menurut Sudarsono dalam buku Kamus Filsafat dan Psikologi (1993), emosi adalah suatu keadaan yang kompleks dari organisme seperti tergugahnya perasaan yang disertai dengan perubahan-perubahan dalam organ tubuh yang sifatnya luas. Biasanya ditambahi dengan perasaan yang kuat yang mengarah ke suatu bentuk tingkah laku atau perilaku tertentu. Hal ini berhubungan erat dengan kondisi tubuh, denyut jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan dapat diekspresikan seperti tersenyum, tertawa, menangis, dapat merasakan sesuatu seperti merasa senang, merasa kecewa.
Berdasarkan definisi tersebut, emosi berhubungan dengan kondisi tubuh yang kemudian diekspresikan dengan beragam cara. Jika emosi tersebut diekspresikan melalui cara yang tidak sesuai dan cenderung berlebihan, tentu akan berdampak pada kondisi tubuh.
Pertama, bisa meningkatkan risiko penyakit jantung. Dilansir dari Harvard Health Publishing, hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam dua jam setelah ledakan amarah, seseorang berisiko lebih tinggi mengalami nyeri dada (angina), serangan jantung, atau risiko irama jantung.
Kedua, memperburuk kecemasan. Hasil studi yang dilakukan pada 2012 dan diterbitkan dalam jurnal Cognitive Behavior Therapy, mengungkap, kemarahan dapat memperburuk gejala gangguan kecemasan umum, suatu kondisi yang ditandai dengan kekhawatiran berlebihan dan tidak terkendali yang mengganggu kehidupan sehari-hari.
Ketiga, menyebabkan depresi. Jika kita tidak bisa mengontrol emosi yang meletup-letup maka berpotensi memunculkan rasa putus asa dan depresi.
Keempat, melemahkan sistem kekebalan tubuh. Seperti dikutip halodoc.com, para ilmuwan di Universitas Harvard meminta pada orang sehat untuk mengingat pengalaman marah dari masa lalu. Hasilnya dapat menyebabkan penurunan selama enam jam dalam kadar antibodi imunoglobulin A, yaitu garis pertahanan pertama sel melawan infeksi.
Itulah sebabnya sejak awal Islam mengajarkan umatnya untuk bisa mengendalikan atau mengelola emosi atau marah. Dalam suatu hadits disebut, “Dari Athiyyah As-Sadi, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya amarah itu dari setan dan setan diciptakan dari api. Api akan padam dengan air. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaknya berwudlu.” (HR Abu Daud, Nomor 4784. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Selain itu, dalam al-Quran Allah berfirman: ِساَّنلاِنَعَنْيِفاَعْلاَىَظْيَغْلاَنْيِمِظٰكْلاَوِءٓاَّرَّضلاَوِءٓاَّرَّسلاىِفَنْىُقِفْنُيَنْيِذَّلاَۗنْيِنِسْحُمْلاُّبِحُيُهّٰللاَوۗ
Artinya: “(Yaitu) orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali ‘Imran 3: Ayat 134).
Jadi, jika kita tidak ingin mudah sakit, dan senantiasa tetap sehat, maka kita harus bisa mengendalikan dan mengelola emosi dengan baik dan juga mengekspresikannya ke dalam hal yang baik pula.