Di tengah dinamika keberagamaan yang semakin kompleks, isu reaktualisasi mazhab menjadi semakin relevan. Banyak kalangan menilai bahwa pendekatan mazhab dalam fikih Islam perlu dibaca ulang agar selaras dengan kebutuhan umat masa kini—tanpa melepaskan akar tradisi yang telah mengakar kuat selama lebih dari seribu tahun.
Fenomena ini bukan sekadar tren intelektual, tetapi respons alami dari masyarakat muslim yang berhadapan dengan perkembangan teknologi, pola hidup urban, hingga isu-isu keagamaan baru yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam literatur klasik.

Menghidupkan Warisan Ilmiah
Dalam tradisi Islam, mazhab bukan sekadar label. Ia adalah metodologi berpikir yang membantu umat memahami hukum dengan cara yang konsisten dan bertanggung jawab. Empat mazhab besar—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—telah menjadi fondasi bangunan fikih selama berabad-abad.
Namun, di era modern, sebagian umat justru mengenal mazhab hanya sebagai “perbedaan hukum”, bukan sebagai kerangka metodologis. Kondisi ini membuat banyak pandangan keagamaan menjadi kaku, bahkan memicu perdebatan yang tidak produktif.
Reaktualisasi mazhab hadir sebagai upaya mengembalikan mazhab ke fungsi awalnya: memberi keluasan pandangan, bukan mempersempit ruang gerak umat.
Energi Intelektual
Salah satu gagasan utama dalam reaktualisasi mazhab adalah cara memaknai perbedaan. Dalam sejarah Islam, perbedaan pendapat justru melahirkan kreativitas hukum. Dari metode qiyas dalam mazhab Hanafi hingga penekanan hadis dalam mazhab Hanbali, keragaman metode ini memperkaya solusi bagi beragam konteks sosial.
Dengan demikian, perbedaan antarmazhab itu ilmiah, bukan emosional. Ia lahir dari perbedaan cara melihat dalil, bukan dari perbedaan niat. Gagasan ini kini menjadi penting di era digital di mana perdebatan keagamaan sering dipicu potongan video pendek tanpa konteks.
Pendekatan Moderat
Reaktualisasi mazhab mendapat momentum karena masyarakat semakin membutuhkan panduan hukum yang moderat dan rasional. Banyak isu kontemporer—seperti transaksi digital, fintech syariah, kerja lintas negara, hingga penggunaan AI—membutuhkan analisis hukum baru yang tetap berakar pada tradisi.
