Pentingnya Reaktualisasi Mazhab di Tengah Keragaman

Di tengah dinamika keberagamaan yang semakin kompleks, isu reaktualisasi mazhab menjadi semakin relevan. Banyak kalangan menilai bahwa pendekatan mazhab dalam fikih Islam perlu dibaca ulang agar selaras dengan kebutuhan umat masa kini—tanpa melepaskan akar tradisi yang telah mengakar kuat selama lebih dari seribu tahun.

Fenomena ini bukan sekadar tren intelektual, tetapi respons alami dari masyarakat muslim yang berhadapan dengan perkembangan teknologi, pola hidup urban, hingga isu-isu keagamaan baru yang tidak ditemukan secara eksplisit dalam literatur klasik.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Menghidupkan Warisan Ilmiah

Dalam tradisi Islam, mazhab bukan sekadar label. Ia adalah metodologi berpikir yang membantu umat memahami hukum dengan cara yang konsisten dan bertanggung jawab. Empat mazhab besar—Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali—telah menjadi fondasi bangunan fikih selama berabad-abad.

Namun, di era modern, sebagian umat justru mengenal mazhab hanya sebagai “perbedaan hukum”, bukan sebagai kerangka metodologis. Kondisi ini membuat banyak pandangan keagamaan menjadi kaku, bahkan memicu perdebatan yang tidak produktif.

Reaktualisasi mazhab hadir sebagai upaya mengembalikan mazhab ke fungsi awalnya: memberi keluasan pandangan, bukan mempersempit ruang gerak umat.

Energi Intelektual

Salah satu gagasan utama dalam reaktualisasi mazhab adalah cara memaknai perbedaan. Dalam sejarah Islam, perbedaan pendapat justru melahirkan kreativitas hukum. Dari metode qiyas dalam mazhab Hanafi hingga penekanan hadis dalam mazhab Hanbali, keragaman metode ini memperkaya solusi bagi beragam konteks sosial.

Dengan demikian, perbedaan antarmazhab itu ilmiah, bukan emosional. Ia lahir dari perbedaan cara melihat dalil, bukan dari perbedaan niat. Gagasan ini kini menjadi penting di era digital di mana perdebatan keagamaan sering dipicu potongan video pendek tanpa konteks.

Pendekatan Moderat

Reaktualisasi mazhab mendapat momentum karena masyarakat semakin membutuhkan panduan hukum yang moderat dan rasional. Banyak isu kontemporer—seperti transaksi digital, fintech syariah, kerja lintas negara, hingga penggunaan AI—membutuhkan analisis hukum baru yang tetap berakar pada tradisi.

Dalam konteks tersebut, mazhab menawarkan kerangka metodologis yang memungkinkan ulama menafsirkan realitas modern tanpa kehilangan legitimasi keilmuan. Inilah yang membuat diskursus mazhab kembali diminati oleh mahasiswa, santri, dan profesional muslim.

Peran Pesantren dan Akademisi

Pesantren-pesantren besar di Indonesia kini memperkuat kajian muqaranah al-fiqh (perbandingan mazhab), terutama untuk generasi muda. Pendekatan ini memudahkan santri melihat perbedaan pendapat secara objektif dan tidak terjebak pada fanatisme.

Sementara itu, kampus-kampus Islam mendorong integrasi antara kajian klasik dan metodologi modern. Perpaduan ini membuat isu-isu baru dapat dianalisis dengan lebih realistis, tanpa menabrak prinsip-prinsip ushul fikih.

Era Media Sosial

Media sosial menjadi salah satu medan paling besar dalam pembentukan pandangan keagamaan masyarakat. Sayangnya, banyak konten agama yang dilepas tanpa penjelasan mendalam. Hal ini memunculkan kesalahpahaman dan polarisasi.

Reaktualisasi mazhab hadir sebagai jawaban: menawarkan literasi keagamaan yang lebih matang dan berbasis metodologi. Dengan memahami mazhab, masyarakat lebih siap menyaring informasi agama secara kritis dan proporsional.

Reaktualisasi mazhab bukan agenda untuk mengganti tradisi, tetapi menemukan kembali relevansi tradisi bagi zaman yang berubah cepat. Dengan menjadikan mazhab sebagai kerangka berpikir yang lentur dan ilmiah, umat dapat bergerak bersama—tanpa harus menyeragamkan semua pandangan.

Di tengah situasi keagamaan yang kadang memanas, pendekatan ini menawarkan jalan tengah yang menyejukkan: bahwa perbedaan adalah bagian dari rahmat, dan mazhab adalah jembatan yang menguatkan, bukan memisahkan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan