Sehabis mengikuti upacara bendera Peringatan Hari Pahlawan di alam barzah, Gus Dur dan Marsinah meneduh di bawah pohon beringin. Gus Dur duduk bersila sambil menyandarkan punggungnya ke pokok pohon. Di depannya, Marsinah duduk dengan kaki tertekuk ke belakang.
Rindang pohon beringin menudung mereka dari terpaan terik matahari. Angin yang bertiup sepoi-sepoi menghadirkan kesejukan. Gus Dur mengatupkan mata, dan bibirnya terbuka. Pinggulnya mulai merosot.

“Gus Dur tidur ya?” Marsinah bertanya.
“Sampeyan masa lupa, sih, Mbak. Saya ini tidur dan tidak tidur, kan, sama saja, he-he-he,” sahut Gus Dur terkekeh.
“Ingat, sih, Gus. Tapi upacaranya memang bikin capai,” timpal Marsinah, memandangi Gus Dur yang matanya terus terkatup, bibirnya komat-kamit.
“Namanya juga demi dan tugas negara, Mbak. Tak boleh mengeluh kalau untuk negara dan bangsa. Apalagi Mbak Marsinah sudah dinobatkan sebagai pahlawan sekarang,” tutur Gus Dur sambil membetulkan posisi kakinya.
“Gus Dur juga, kan…”
“Ah, masa? Kok, saya tak dengar?”
“Pripun to, Gus. Tadi, kan, disebut di urutan pertama malahan, ‘KH Abdurrahman Wahid sebagai pahlawan nasional,'” Marsinah menjelaskan.
“Loh, itu saya, to. Kok yo ono-ono wae guyonnan arek-arek ki,” sahut Gus Dur sambil mijit-mijit kakinya.
“Kok, guyonan, sih, Gus?” Marsinah tak mengerti maksud ucapan Gus Dur.
*Arek-arek yang mengusulkan saya jadi pahlawan itu sambil guyonan sebenarnya. Siapa tahu disetujui. Kalau disetujui ya syukur, kalau tidak ya tidak apa-apa. Seperti main gaple, kadang menang, kadang kalah. Gitu aja kok repot, Mbak, he-he-he.”
“Ah, Gus Dur ini, sudah di sini juga tak berubah,” sahut Marsinah sambil tersenyum tipis.
“Tapi setidaknya negara sudah mengakui perjuangan kita. Mbak Marsinah selama ini telah menjadi simbol perjuangan kaum buruh. Menjadi pahlawan mereka. Baru sekarang, negara mengakui kepahlawanan Mbak Marsinah,” ucapan Gus Dur kali ini terdengar serius.
“Tapi semua itu terjadi juga karena Gus Dur, kan?”
“La kok iso, Mbak?”
“Inggih, Gus. Kalau tidak didukung Gus Dur, kalau Gus Dur tidak berdiri di belakang kami, mana berani kami-kami ini dulu bergerak, melalukan perlawanan,” kata Marsinah. “Kami berani melawan karena ada Gus Dur yang akan membela,” Marsinah menegaskan.
Saat itulah, dari kejauhan terlihat Pak Harto berjalan pelan, sendirian, menuju ke arah mereka.
“Wah, ternyata Gus Dur dan Mbak Marsinah ngadem di sini to. Saya baru tahu di sini ada pohon beringin, hmmm,” sapa Pak Harto sambil tersenyum. Pak Harto ikut duduk di sebelah Gus Dur.
“Jenengan ini pura-pura lupa. Kan, Pak Harto yang nanem pohon beringin ini,” sahut Gus Dur sambil menepuk-nepuk paha sendiri.
“He-he-he, Gus Dur masih ingat ya. Saya kira tak ada yang merawat, tapi ternyata dirawat oleh anak-anak itu ya pohon beringin ini,” timpal Pak Harto sambil terkekeh. Marsinah tertegun melihat kedua tokoh ini saling berbalas guyonan.
“Selamat, ya, Pak Harto, sudah jadi pahlawan sekarang,” Gus Dur menyelamati Pak Harto.
“Gus Dur juga, selamat, Gus. Akhirnya kita sama-sama jadi pahlawan. Betul begitu, bukan, Mbak Marsinah?” balas Pak Harto, lalu menatap Marsinah.
Marsinah berusaha menyembunyikan wajahnya yang memberengut, “I-iya, betul, Pak Harto.”
Pak Harto seperti bisa membaca kecamuk yang ada dalan pikiran Marsinah. Sebab, Marsinah terlihat lebih banyak menunduk sambil memainkan jari-jari tangannya.
“Mbak Marsinah teringat masa lalu ya?” tanya Pak Harto.
Agak lama kemudian baru Marsinah mengangkat muka. “Bagaimana saya bisa menuntut balas terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai pahlawan,” kata Marsinah.
Pak Harto manggut-manggut, tersenyum sebentar, lalu menimpali, “Tak pernah ada perintah yang terucap ataupun tertulis dari saya yang menyebabkan peristiwa itu terjadi…”
“Seperti biasa, Mbak. Pak Harto hanya tersenyum, dan begitulah mereka menafsirkan senyum Pak Harto,” Gus Dur sambil leyeh-leyeh memotong ucapan Pak Harto.
“Gus Dur memang waskita,” Pak Harto menimpali.
“Mbak Marsinah tahu tidak, tersebab apa orang-orang seperti Mbak Marsinah dan saya ini dijadikan pahlawan?” tanya Gus Dur.
“Karena perjuangan kita, Gus,” pandangan Marsinah beralih ke Gus Dur.
“Bukan persis seperti itu…”
“Persisnya seperti apa, Gus?”
“Ya karena kita melawan Pak Harto ini, sehingga kita menjadi simbol perlawanan terhadapnya, perlawanan terhadap kebijakannya, perlawanan terhadap sistemnya,” Gus Dur memberi penjelasan.
“Ya, ya, Gus, dan akhirnya kita punya takdir yang sama, punya pusara yang sama, pusara para pahlawan,” kata Marsinah.
“Hmm, iya. Oleh sebab keberadaan saya, Gus Dur dan Mbak Marsinah menemukan medan-medan perjuangan. Itulah jalan kita untuk sampai di sini, di bawah pohon beringin ini. Untung dulu saya menanam pohon ini, he-he-he,” kali ini Pak Harto tersenyum lebar.
“Nah, begitu loh, Mbak, logika berpikirnya. Masa yang menyebabkan kita jadi pahlawan tidak dijadikan pahlawan juga. Kan, lucu…”
“Oh iya, saya izin mau ngaso dulu, Gus, Mbak,” Pak Harto pamit. Marsinah masih membersamai Gus Dur yang kelihatannya nyenyak bersandar di pohon beringin itu.
