Ketika Al-Qur’an membicarakan perempuan, ia tak pernah memosisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Al-Qur’an membuka dengan nada spiritual yang egaliter: “sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan” (QS. Ali Imron: 195). Namun, dalam perjalanan sejarah tafsir, egaliterianisme ini perlahan terkubur di bawah lapisan tafsir sosial yang lahir dari masyarakat patriarkat. Teks yang sejatinya membebaskan justru sering dibaca untuk mengekang.
Salah satu contoh paling sering dibicarakan adalah QS. An-nisa: 34 —arrijalu qawwamuna ‘ala n-nisa”. Dalam tafsir klasik seperti Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, ayat ini dipahami bahwa laki-laki memiliki wilayah dan qiwamah atas perempuan karena mereka diberi kelebihan akal dan tanggung jawab nafkah. Tafsir seperti ini lahir dari masyarakat di mana laki-laki memang menguasai ruang publik dan ekonomi, sementara perempuan bergantung pada mereka secara finansial. Maka tafsir seperti itu tidak sepenuhnya salah, tetapi kontekstual dengan zamannya.

Problem muncul ketika tafsir sosial ini dijadikan doktrin teologis yang absolut, seolah kedudukan laki-laki sebagai “pemimpin” perempuan adalah perintah Tuhan yang tak bisa ditafsir ulang. Padahal, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar, ayat ini tidak menegaskan superioritas laki-laki, melainkan tanggung jawab moral dan sosial — bahwa siapapun yang memegang fungsi pemeliharaan (nafkah dan perlindungan) harus melakukannya dengan adil, bukan dominatif. Tafsir modern seperti ini mencoba mengembalikan makna Al-Qur’an pada semangat awalnya: keadilan, bukan kekuasaan.
Perempuan dalam teks klasik sering dijelaskan dengan teks kewajiban, bukan pilihan. Dalam bab-bab fikih tentang nikah, talak, dan waris, yang ditekankan adalah bagaimana perempuan harus patuh, menjaga kesucian, dan menuruti wali. Sementara aspek-agensi — seperti hak memilih pasangan, hak atas pendidikan, dan hak kerja — jarang dibahas secara eksplisit.
Dalam banyak kitab, perempuan ada hanya ketika menjadi istri, ibu, atau anak. Ia tidak pernah disebut ‘alimah, mujtahidah, atau pemimpin. Bahasa hukum Islam, dengan demikian, membentuk realitas sosial di mana perempuan hanya diakui melalui relasi dengan laki-laki.
Padahal, dalam sejarah Islam awal, Al-Qur’an mencatat figur perempuan yang aktif secara sosial dan spiritual. Khadijah binti Khuwailid adalah pebisnis sukses, Aisyah binti Abu Bakr menjadi perawi hadis terbesar kedua setelah Abu Hurairah dan sering berdebat dengan sahabat laki-laki dalam masalah hukum, Ummu Salamah menjadi rujukan politik dan musyawarah Nabi dalam peristiwa Hudaibiyah. Namun, dalam kontruksi fikih dan tafsir klasik, peran-peran ini nyaris hilang — digantikan dengan ideal moral “perempuan salehah adalah perempuan yang taat diam di rumah”.
Kritik terhadap konstruksi semacam ini mulai menguat dalam abad ke-20, terutama lewat sarjana-sarjana Muslim modern. Amina Wadud, dalam Qur’an adn Woman (1992), menegaskan bahwa teks suci harus dibaca dengan kesadaran gender. Ia menunjukkan bahwa kata ganti dan struktur dalam Al-Qur’an sering netral, tetapi ditafsiri secara maskulin oleh pembacanya.
Sementara, Fatima Mernissi menyoroti bagaimana hadis-hadis tentang perempuan sering dikutip tanpa memeriksa konteks politik dan sosial saat diriwayatkan — terutama hadis-hadis yang membatasi ruang publik perempuan. Keduanya seakan berkata: yang timpang bukan teksnya, tapi cara kita membacanya.
Di Indonesia, pendekatan serupa bisa ditemukan dalam tulisan Quraish Shihab. Dalam buku Perempuan, ia menolak pandangan bahwa Al-Qur’an menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Ia menulis, “Perbedaan antara laki-laki dan perempuan bukan pada nilai kemanusiaannya, tetapi pada pada tanggung jawab sosial yang mereka emban.” Pernyataan ini sejalan dengan semangat Hasbi Ash-Shiddieqy yang menekankan bahwa fikih harus berpijak pada konteks sosial, bukan hanya teks Arab abad pertengahan.
Membaca ulangg teks dan tafsir dengan kesadaran gender bukan berarti mengganti ajaran Islam, melainkan menghidupkan kembali ruhnya. Tugas penafsir hari ini adalah memisahkan antara pesan universal wahyu dan tafsir partikular manusia yang terikat ruang dan waktu. Dengan cara itu,, perempuan tidak lagi menjadi objek hukum yang diatur, tapi tentang kemanusiaan — tentang bagaimana wahyu bisa terus berbicara kepada zaman yang terus berubah.
Karena pada akhirnya, sebagaimana yang sudah ditegaskan Ibn Qayyim, “Syariat seluruhnya adalah keadilan, rahmat, dan kebijaksanaan.” Maka setiap tafsir yang menjauh dari keadilan dan menimbulkan ketidakadilan gender, sejatinya telah keluar dari semangat syariat itu sendiri.
