Bus bergerak meninggalkan halte tua. Gandari mengamati kursi-kursi yang kosong, lalu memilih kursi di dekat pintu belakang. Sebelum duduk, Gandari melempar pandangan sejenak ke arah halte, melihat perempuan tua melambaikan tangan padanya. Dalam hati Gandari bertanya-tanya, siapakah perempuan tua itu?
Gandari bertemu perempuan tua itu di halte tua. Perempuan tua dengan rambut bersanggul kecil itu mengenakan kain batik coklat tua dan kebaya coklat muda; mirip pramuka saja warna pakaiannya – ia duduk di kursi pojok halte.
Mungkin perempuan tua itu seorang peminta-minta. Di kota ini sangat jarang perempuan tua mengenakan kebaya di jalanan, kecuali pengemis. Gandari menghampirinya, memberinya uang lima ribu rupiah. Gandari ingat, hari ini ia belum bersedekah. Semoga dengan bersedekah, hari buruk segera berlalu.
“Terima kasih, Nak. Semoga Tuhan memberikan kabahagiaan padamu hari ini,” perempuan tua itu mencium uang pemberian Gandari, mata cekungnya tampak berbinar.
Gandari tertegun, dalam hati menjawab, “Itu mustahil!” Bagaimana mungkin Gandari akan mendapat kebahagiaan bila hari ini adalah hari terakhirnya sebagai juru bayar di Tata Usaha sebuah koran?
Meski begitu, Gandari tersenyum sekadar basa-basi dan bertanya, “Bahagia macam apa itu, Nek?”
“Hari ini kamu telah berderma, kamu akan mendapatkan kebahagiaan,” kata perempuan tua.
Gandari tertawa, menampakkan deret giginya yang rapi dan putih bersih. Ia tak bisa basa-basi lagi. Ucapan perempuan tua itu sungguh menggelikan. Semua pengemis akan mengucapkan hal yang sama untuk menyenangkan hati si pemberi derma.
Sudahlah, lupakan pengemis itu! Gandari menjauh dari perempuan tua itu, beranjak ke sudut lain halte tua. Sejenak, Gandari melirik perempuan tua itu yang masih duduk di pojok halte. Perempuan tua itu tampak tenang, tidak tersinggung dengan Gandari yang menertawakan dan menjauh darinya.
Gandari melirik jam tangannya. Pukul 07.32. Hm, sudah setengah jam lebih ia menunggu, tetapi bus tua yang bodinya penuh dempul itu belum juga datang. Ia melirik ke pojok halte, perempuan tua itu masih di sana, kali ini sedang menatapnya. Ia mulai merasa terganggu dengan kehadiran pengemis itu.
Entahlah, hari ini suasana hati Gandari timbul tenggelam. Detik yang lalu ia merasa menjadi dermawan, tetapi detik ini semua orang terasa menyebalkan baginya. Mungkin lebih baik ia pergi dari halte tua itu. Tetapi, bagaimana dengan bus yang ditunggunya? Semua bus di kota ini hanya berhenti di halte, meskipun halte tua.
Gandari mengela napas. Ia mulai merasa terganggu dengan keberadaan perempuan tua itu yang kerap menatapnya berlama-lama. Ia akan menegur pengemis itu, bahkan bila perlu mengusirnya. Orang lain juga akan melakukan hal yang sama, pikir Gandari.
Gandari mendekat ke pojok halte. Meski ia telah menyiapkan kalimat yang halus untuk mengusir pengemis itu, tetapi hatinya berontak sehingga ia tampak ragu melangkah. Si perempuan tua tersenyum melihat Gandari mendekatinya.
“Duduklah,” kata perempuan tua, tangannya sigap membersihkan debu di kursi di dekatnya.
“Maaf, Nek?” tanya Gandari, tertegun sejenak.
“Duduklah,” pinta perempuan tua.
Meski canggung, Gandari menurut. Duduk di dekat perempuan tua itu. Aroma melati merebak dari tubuh perempuan tua itu. Terlalu harum untuk seorang pengemis, batin Gandari.
Ini benar-benar membingungkan bagi Gandari. Ia tidak mampu menguasai perasaannya. Jiwanya seperti mengambang, bagai kapas melayang ke manapun angin bertiup. Ah, benar-benar hari buruk baginya.
Diam-diam Gandari menghela napas dan berharap semua ini hanya mimpi sesaat. Ia melemparkan pandangan jauh ke sana, berharap bus yang dinantinya datang. Tetapi sia-sia. Mungkin bus itu sudah lenyap dari kota ini.
Gandari terkejut ketika perempuan tua itu menyentuh tangannya.
“Berceritalah padaku,” katanya.
“Maksud Nenek?”
“Tak ada orang lain di halte ini. Hanya aku dan kamu. Mengapa kita tidak saling berbagi cerita? Semua orang punya cerita. Berceritalah padaku.”
Gandari mengamati wajah keriput perempuan tua di depannya. Ini semakin aneh. Mereka baru bertemu di pagi itu, tetapi si pengemis tua itu meminta Gandari bercerita tentang dirinya. Mustahil! Gandari tak mungkin menceritakan apapun yang terjadi dalam hidupnya pada orang asing.
“Entahlah. Saya tak mengerti maksud Anda, Nek,” kata Gandari.
“Wajahmu muram seperti menanggung beban yang berat.”
Gandari mengangguk seketika. Ia merasa beban pikirannya mulai berkurang, maka ia pun bercerita tentang dirinya pada perempuan tua itu. Gandari merasa ini hari buruk baginya. Dua tahun belakangan ini kantor Gandari kolaps. Tiras koran terus menurun, pemasukan dari iklan menurun drastis. Banyak media cetak yang tumbang, kalah bersaing dengan media internet. Manajemen memutuskan melakukan rasionalisasi alias PHK karyawan.
Gandari harus terdepak dari kantor dengan alasan sederhana: Gandari baru tiga tahun bekerja, masih muda dan lajang; masih punya peluang untuk bekerja di tempat lain. Sedangkan atasannya, Bu Marina, sudah bekerja selama tiga puluh tahun dan janda beranak tiga, sehingga layak dipertahankan. Kelak, tugas Gandari akan diambil alih Bu Marina.
Di ujung cerita, sepasang mata Gandari berkaca-kaca.
Perempuan tua tersenyum menatap Gandari.
“Tak ada hari buruk. Semua hari baik,” kata perempuan tua, lalu menatap uang lima ribu rupiah di genggaman tangan kanannya. “Kamu telah berbuat baik. Hari ini yang kamu anggap sebagai hari burukmu akan berlalu.”
Gandari terpana.
“Maaf, apa Nenek peramal?”
Perempuan tua tersenyum dan menggeleng.
“Mengapa kamu berpikir begitu? Apa saya tampak seperti peramal?”
“Entahlah, Nek. Tapi saya pikir siapapun akan mengira Nenek adalah peramal.”
Perempuan tua tersenyum, memegang tangan Gandari. Dengan masih menatap Gandari, perempuan tua itu berkata, “busmu sudah datang.”
Gandari terhenyak.
“Bus itu jauh di belakang Nenek. Bagaimana Nenek tahu bus itu sudah datang?”
Perempuan tua terkekeh.
“Apa kamu tidak dengar suara mesinnya yang keras seperti gergaji?”
Kali ini Gandari yang terkekeh. Ia pamit pada perempuan tua itu, dan ketika bus berhenti di halte, ia sigap naik. Sedangkan si perempuan tua masih duduk di halte.
Bus melompong, hanya ada dua penumpang, tiga dengan Gandari. Bus bergerak meninggalkan halte tua. Gandari mengamati kursi-kursi yang kosong, lalu memilih kursi di dekat pintu belakang. Sebelum duduk, Gandari melempar pandangan sejenak ke arah halte, melihat perempuan tua melambaikan tangan padanya.
Ponsel Gandari berdering. Di layar ponsel muncul nama Bu Marina.
“Assalamualaikum. Selamat pagi, Bu Marina?” sapa Gandari di telepon.
“Waalaikumsalam. Gandari, kamu masih ingat tentang cita-citaku bikin usaha katering?”
“Ya, Bu. Saya ingat.”
“Mungkin inilah saat yang tepat untuk mewujudkan cita-citaku itu. Aku akan mengundurkan diri dari kantor. Atasan sudah setuju. Selamat ya, Ndari? Jalanilah masa depanmu penuh semangat.”
“Maksud Bu Marina?”
“Kamu menggantikanku jadi Kepala TU.”
Batang, 8 Januari 2022.