Perihal Jihad dan Ijtihad

1,052 kali dibaca

Hari-hari ini, kita seakan tersihir oleh suatu wacana, dan juga ghirah, bahwa satu-satunya jalan menuju surga adalah jihad. Istilah ini kemudian menggeser dan menindih ijtihad, jalan di mana dunia Islam membangun peradaban.

Setidaknya itulah yang sering kita dengar dari atas mimbar khutbah jumat, dari corong dai-dai yang sedang berdakwah, atau yang kita baca dari pesan-pesan berantai di jejaring media sosial alias dakwah bil medsos. Bahwa, perintah utama dan pertama yang dititahkan Tuhan kepada kita adalah jihad, hingga lupa bahwa yang menandai kerasulan Muhammad adalah iqra, perintah untuk membaca —perintah untuk berijtihad.

Advertisements

Istilah jihad memang sudah muncul sejak masa Nabi, ketika orang-orang beriman harus berperang melawan orang-orang kafir, orang-orang yang mengingkari kebenaran risalah yang dibawa Muhammad. Di masa itu, ghirah orang-orang beriman untuk berperang, berjihad, memang begitu tinggi. Motifnya adalah membela kebenaran risalah yang dibawa Muhammad, jihad fi sabilillah, dan untuk itu Tuhan menjanjikan surga sebagai balasan.

Tapi tak semua orang yang ikut berjihad, berada di tengah pasukan perang, memiliki motif yang sama. Tak sedikit yang didasari oleh motif lain, misalnya ingin memperkaya diri dari hasil pampasan perang. Atau demi tujuan-tujuan lain selain menegakkan kebenaran. Karena itulah, wajar jika kemudian Nabi Muhammad buru-buru meluruskan perihal apa sesungguhnya yang dimaksud dengan jihad.

Perang-perang melawan orang-orang kafir di palagan itu ternyata hanyalah “jihad kecil”—perkara sepele. Usai Perang Badar, Nabi Muhammad mengingatkan bahwa kelak orang-orang beriman akan menghadapi “jihad besar”, perang yang sesungguhnya, yang disebut dengan jihadun nafs, perang melawan hawa nafsu, perang melawan diri sendiri. Dan palagan yang sebenarnya ada di dalam diri sendiri.

Tanpa perlu dalil yang ndakik-ndakik, akal sehat akan menuntun kita ke alamat yang dirujuk oleh istilah jihadun nafs, jihad besar, atau perang melawan hawa nafsu, itu. Seringkali, digarami oleh euforia kemenangan, atau klaim akan kebenaran, manusia menjadi pribadi yang congkak, sombong, dan melupakan sangkan paraning dumadi. Suasana batin seperti itulah yang sempat menyeruak pasca-Perang Badar, sehingga Nabi Muhammad perlu meluruskannya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan