Sengkuni bersama staf IT-nya terbelalak. Berkali-kali mengecek hasil survei Nagari Hastinapura, seolah tidak percaya. Sebentar lagi, Nagari Hastinapura memang akan mengadakan pemilihan Adipati, seorang penguasa Kadipaten. Ada tiga tokoh yang mencalonkan diri. Mereka berasal dari Partai Baladewa, Partai Balakurawa, dan satu lagi dari calon independen alias nonpartai.
Sengkuni berkali-kali mengucek matanya yang sudah mulai rabun jauh. Berkali-kali juga lensa kaca matanya minta ditebalkan, seolah tidak percaya kepada hasil survei yang tertera di monitor laptopnya. Beberapa lembaga survei menyatakan bahwa calon Adipati dari independen akan mendapatkan kepercayaan masyarakat kadipaten. Delapan puluh persen lebih suara mendukung calon independen ini, sisanya untuk calon dari Partai Baladewa dan BalaKurawa. Sengkuni terpana. Menerawang jauh membayangkan kelangsungan Nagari Hastinapura. Sengkuni tertunduk, sembilu. Dipandanginya foto seratus putra Destarasta di dinding kantornya.
“Rupanya masyarakat sudah hilang kepercayaan. Tidak kepada Kurawa, tidak juga kepada Pandawa. Pertanda apakah ini, Wahai Sang Pemilik Jagad?” katanya sembari berjalan mengelilingi potret seratus putera mahkota.
“Independen tidak berhak mengatur Nagari Hastinapura. Termasuk Partai BalaPandawa. Hanya keturunan sah dari Wicitrawirya yang boleh nepotisme. Ini tidak bisa dibiarkan,” Sengkuni menggumam sendiri. Ia telah selesai melihat pajangan foto seratus BalaKurawa, kembali memutar, sampai pada sang sulung, Duryudhana. Sengkuni berhenti sambil tersenyum.
“Kamu, anakku Duryudhana. Hanya kamu dan adikmu, sembilan puluh Sembilan, yang berhak menduduki jabatan, kekuasaan, menguasai kantor-kantor penting negara. Partai lain tidak. Ini kok ada independen nglamak. Ini tidak boleh dibiarkan!”
Sengkuni mencoba mengingat kembali, betapa Destarata dan Gandari yang karena tuna netra menitipkan seratus putranya kepada Sengkuni untuk mengasuhnya. Ia trenyuh kepada Duryudhana, sang sulung. Betapa ia harus kalang kabut, mengurusi kesembilan puluh sembilan adik-adiknya. Hidup nyantri di padepokan Sengkuni, yang jauh dari kemewahan dan para pengawal ataupun abdi dalem. Duryudhana harus capai memandikan dan merawat adik-adiknya ketika ada yang sakit, memasak makanan bagi mereka, mencuci pakaian mereka, nyeboki, momong, meninabobokan sebelum tidur, dan banyak lagi. Duryudhana melakukan tugas kesulungannya dengan penuh amanah, tak heran jika kelak kesembilan puluh sembilan adiknya, sangat tunduk dan patuh kepadanya.
Sengkuni tambah geram, sembari tetap menatap foto Duryudhana. Bagaimana rakyat berpikir bahwa Partai Kurawa sebagai antagonis, sedangkan Partai BalaPandawa sebagai protagonis, sang tokoh kebaikan dan kebajikan. Nagari Hastinapura menganut sistem dinasti atau kekeluargaan, bukan demokrasi. Jika Duryudhana menjadi presiden penguasa Nagari Hastinapura, adakah yang salah? Karena keturunan Pandawa, secara geneologi hanyalah sepupu, bukan keturunan langsung dari Kakek Wicitrawirya. Tentang kelicikan dan kepicikan BalaKurawa, dari mana didapatkan? Tentu saja, mereka warisi dari Sengkuni, sang pengasuhnya.
Sengkuni merasa lelah, setelah berjalan mengitari seratus foto anak asuhnya. Kopi dan kue nagasari di meja kerjanya dilahap habis saking lelahnya. Sengkuni mencoba berpikir keras. Sebelum perang Baratayudha pecah, kenapa masalah ini bisa terjadi. Survei rakyat terhadap calon independen sebagai bukti, bahwa mosi ketidakpercayaan rakyat kepada Dewan Perwakilan Hastinapura telah runtuh. Kepala Sengkuni cenat-cenut memikirkannya.
Gusti semesta mengasihi Sengkuni. Meniupkan sejuk angin kesadaran, melalui Rakib-Atid sebagai perwakilan-Nya. Sengkuni yang bertafakur sangat dalam trenyuh. Tidak terasa, buliran air keluar dari dua sudut matanya. Ia merasa bersalah. Bahwa ia hanya menggunakan nafsu dendamnya kepada Pandu demi membela adiknya, Gandari, dengan bersumpah akan membuat pendertiaan kepada tedak turun Pandawa. Maka, asuhan keseratus anak Kurawa, Putra Destarata, ia asuh, ia didik, ia emong dengan diktat-diktat kelicikan, doktrin-doktrin ketamakan, dengan kurikulum provokasi yang disusunnya.
Sengkuni tersungkur jatuh, ia menciumi bumi, bersujud berulang-ulang kali, air mata tidak hentinya ia teteskan, dadanya sesak, mengingat segala macam bentuk dosanya. Jika keseratus Kurawa menjadi antagonis dengan karakteristik negatif seperti sekarang, ia adalah orang yang paling layak disalahkan. Sengkuni merasa paling bertanggungjawab dan siap menanggung dosa keseratus Kurawa.
Sengkuni dalam sujudnya mencari belas kasih dan celah untuk bisa dimaafkan.
“Bukankah Gustiku Maha Rahman dan Rahim? Maha Pengampun dan Maha Bijak? Kenapa aku tidak tobat saja? Lalu, aku akan berbuat kebaikan untuk mengganti semua berkas kesalahanku,” Sengkuni perlahan tersenyum. Istighfar beberapa kali. Sungguh pemandangan yang teramat ganjil.
Benar saja. Sengkuni sudah tidak memedulikan Partai Kurawa dalam pemilihan Adipati. Ia apatis, vakum dari dunia panggung politik. Ia acuh. Entah siapa pemenangnya, Sengkuni siap mendukungnya,
“Sami’na wa atha’na, bukankah athiu ‘ala umri ami minkum juga perintah Gustiku? Pasti, akan bernilai ibadah,” Sengkuni mencoba berpikir waras.
Setelah pemilihan Adipati selesai, survei tidak berbohong. Calon independen keluar sebagai pemenangnya. Sengkuni sebagai sesepuh, dewan syura Hastinapura, ingin memberikan selamat kepada sang Adipati pilihan rakyat. “Tomon” nama Adipati baru tersebut. Dengan kekuasaannya, tentu Adipati Tomon tidak akan kuasa menolak undangan perjamuan dari Sengkuni, sang sesepuh pinisepuh Hastinapura.
Sangkuni tengah bersiap dengan para pelayan-pelayannya menyiapkan pesta jamuan untuk Adipati Tomon.
“Ha-ha-ha, setelah sekian lama, langkah demi langkah, waktu demi waktu, akhirnya akan terjadi perubahan pada Nagari Hasinapura. Adipati baru pasti akan membawa sistem baru,” Sengkuni membatin.
“Pelayan, apakah semua sudah siap?” tanya Sengkuni kepada kepala pelayan.
“Ehhmm, sudah siap! Tapi, begini, saya dan pelayan-pelayan lain hendak bertanya, apakah ini tidak salah ataukah memang strategi kelicikan, seperti menjadi kebiasaan Tuanku Sengkuni?” tanya kepala pelayan.
“Maksudmu?” tanya Sengkuni penasaran.
“Jadi begini, yang kita undang adalah Adipati baru. Kami berpikir apakah ini pantas?” kepala pelayan mecoba menjelaskan.
“Bagian mana yang tidak pantas menurutmu, wahai pelayan?”
“Bagaimanapun, Adipati Tomon adalah pejabat, meski baru. Tapi, masakan yang disajikan sederhana, masakan ala wong ndeso. Nasi pecel, peyek, pete, tempe, perkedel, minumannya beras kencur, dawet, kuenya juga kue cucur, apem, juga klepon. Pantaskah menurut Tuan Sengkuni?”
“Ha-ha-ha…, aku paham keraguan kalian. Begini, Adipati Tomon berasal dari kaum jelata, kasta sudra. Dia adalah rakyat, ndeso, bahkan ketika dia berkampanye selalu mengatasnamakan rakyat, demi rakyat, untuk rakyat. Jadi, kalian tenang saja. Aku semua yang bertanggung jawab.”
“Hamba masih tidak percaya, Tuanku Sengkuni. Apakah Tuan punya misi lain sehingga ini hanyalah taktik belaka?”
“Loh, kamu tidak percaya aku sudah bertobat? Aku tidak ingin licik lagi. Aku ingin berdamai dengan Gustiku. Makanya, langkah awalku dengan memanggil Adipati baru ini. Aku ingin berdiskusi dengannya, perihal program-program kerakyatan dan keadilan untuk kadipatennya.”
Kepala pelayan mengangguk perlahan tetap dengan keraguannya. Ia tahu, Sengkuni tidak pernah tobat. Sengkuni adalah inspirator para provokator. Jika ia bertobat, maka kepada siapa lagi para hoax-er akan berkiblat.
Sengkuni menangkap keraguan kepala pelayan tersebut. Dengan menepuk pundak pelayan tadi, Sengkuni berkata untuk menenangkan, “Percayalah, akan ada Adipati baru, siap dengan segala perubahan. Segala penderitaan, penindasan, adu domba, kesengsaraan rakyat akan….”
Kepala pelayan sigap menjawab, “Akan bertambah lagi, bahkan lebih parah daripada sebelumnya. Betulkah demikian yang Tuan maksudkan?” pelayan tadi hafal betul dengan karakter tuannya.
Sengkuni tertawa, “Ha-ha-ha… aku serius! Adipati baru untuk perubahan yang benar dan besar. Ya seperti tadi, kerakyatan dan merakyat. Maka, jamuan dengan hidangan rakyat ini menjadi simbolnya. Sudah, sudah, kembali bekerja. Waktu kita sudah mepet. Sebentar lagi Adipati Tomon segera datang.”
Kepala pelayan yang masih tak percaya menuruti saja kemauan tuannya. Ia bergegas menyiapkan segala macam hidangan ndeso sebagai simbol merakyat yang Sengkuni maksudkan.
Waktu telah tiba. Adipati Tomon datang setelah telat dua jam. Sengkuni pun huznusan, memakluminya, karena pejabat baru, tentu banyak kerepotan yang dimiliki. Segera Sengkuni mempersilakan tamunya.
“Silakan, monggo, monggo, silakan Tuanku Adipati Tomon silakan duduk.”
Adipati Tomon memaksa untuk tersenyum, “Terima kasih, Tuan Sengkuni. Apakah tidak ada kursi untuk duduk? Di mana saya harus duduk? Saya ini orang yang punya kedudukan lo, jadi harus ada kursi untuk saya duduki.”
Sengkuni segera mengklarifikasi, “Lesehan saja Tuan Tomon. Bukankah lesehan ini simbol keadilan? Sama-sama duduk, tidak ada yang di atas atau di bawah.”
Adipati Tomon dengan terpaksa akhirnya mau duduk lesehan di tikar yang telah disiapkan.
“Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Tuan Tomon karena mau menghadiri perjamuan ini…,” Sengkuni memulai basa-basinya.
“Iya, iya. Aku terima rasa terima kasihnya. Karena biasanya perjamuan berarti akan ada proyek Nagari. Apalagi, Tuan Sengkuni reputasinya sudah terkenal. Pasti menguntungkan. Ha-ha-ha….”
Buru-buru Sengkuni menanggapi agar tidak salah sangka, “Ee… sebenarnya saya sudah tobat. Saya insaf. Saya sudah berkebalikan dengan reputasi saya dulu. Saya hanya ingin mengucapkan selamat kepada Tuan Tomon, atas terpilihnya sebagai Adipati di salah satu Kadipaten Nagari Hastinapura.”
Tuan Tomon tercengang, segera ia ingin mengakhiri perjamuan ini, karena dinilai tidak menguntungkan, “Oh ya sudah kalau begitu. Segera hidangkan makanannya lalu saya akan segera beranjak. Karena urusan selamat-selamat ini saya anggap sudah selesai.”
Sengkuni segera memanggil kepala pelayan tadi untuk menghidangkan jamuan di meja. Demi melihat jamuan yang dihidangkan, Tuan Tomon terbelalak dan marah.
“Apa ini? Tempe, pete, klepon… makanan jelata, makanan ndeso, katrok. Tidak adakah hidangan lain?”
Sengkuni merasa kecewa, “Ini memang hidangan rakyat, Tuan Tomon. Hidangan ini sebagai simbol kerakyatan dan lesehan ini simbol keadilan. Persis! Sama persis seperti yang Tuan Tomon kampanyekan dalam orasi-orasi kemarin.”
“Bah! Drama macam apa pula ini! Yang merakyat ya rakyat, bukan pejabat! Keadilan itu dari pejabat, bukan dari rakyat!”
Dengan marahnya, Tuan Tomon segera menggulingkan meja jamuan sehingga semua makanan dan minuman yang tersaji jatuh berserakan, tumpah membasahi tikar. Sengkuni yang merasa terhina dengan sikap Adipati Tomon, kalap. Segera memanggil prajuritnya untuk menangkap Adipati Tomon. Rupanya, Adipati Tomon lupa, bahwa ia berhadapan dengan sesepuh Nagari, yang kekuasaannya tidak terbatas, tidak terjamah karena dilindungi langsung oleh seratus anak Kurawa sebagai pemilik Nagari.
“Prajurit! Tangkap dan eksekusi Tuan Tomon ini. Penjarakan ia tanpa peradilan, hukum dan tuduh ia di pengadilan untuk kasus penggelapan dana kampanye. Pilihan Adipati ulang kembali! Rakyat dan politisi Nagari pasti percaya, kalau laporan ini langsung dariku, Sengkuni.”
Ratapan minta maaf dari Tuan Tomon tidak cukup membuat Sengkuni membatalkan eksekusinya. Sengkuni kadung murka. Ia tak terbendung. Titahnya adalah sabda. Marahnya adalah petaka bahaya. Rakyat dan semua pejabat Nagari tidak berani menentangnya, karena ia adalah Dewan Syura terhormat Nagari Hastinapura.
Kepala pelayan yang sedang membersihkan hidangan yang dihamburkan Tuan Tomon tadi bertanya kembali kepada Sengkuni.
“Jadi, bagaimana Tuan Sengkuni?”
“Bagaimana apanya?” Sengkuni balik bertanya.
“Tobat dan khilafnya tadi loh. Adipati baru dengan perubahan baru yang Tuan Sengkuni harapkan ternyata tidak sesuai kenyataan.”
Sengkuni terdiam. Setan, iblis, dedemit, kembali menguasai.
“Tobatnya dibatalkan!” dengan tegas dan mantap Sengkuni menjawab.
Jagad bergemuruh, gonjang-ganjing. Hitam putih kerlap-kerlip langit kembali bergoncang. Keadaan kembali menjadi normal, sediakala berotasi berputar pada sumbu porosnya. Setelah cerita tobatnya Sengkuni membuat peredaran raya jeda sejenak. Sengkuni telah membuat delapan penjuru mata angin kembali berembus. Angin kebaikan dan kejahatan berderai. Tidak searah, tapi membuat semesta dalang dan bumi pewayangan berjalan kembali sesuai pakemnya.