Sebentar lagi hari Kemerdekaan Republik Indonesia tiba. Berbagai prosesi penyambutannya sudah mulai dilakukan. Terlihat bendera di depan rumah gagah terpasang rapi. Namun, di balik kemeriahan menyambut hari kemerdekaan ada pelajaran penting yang bias kita ambil terutama dalam semangat perjuangan merebut dan kemerdekaan Indonesia.
Mereka yang ikut berperan dalam prosesi sejarah tersebut salah satunya adalah para santri, kiai, dan ulama. Ada banyak kisah heroik yang dilakukan oleh para santri dalam melakukan perlawanan terhadap para penjajah. Itu semua berawal dari pendidikan yang mereka dapatkan dari pondok pesantren
Salah seorang ulama besar dan paling berpengaruh bernama KH Hasyim Asy’ari. Pada 26 Rabiul Awal 1317 H (3 Agustus 1899) KH Hasyim Asy’ari berhasil mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur. Sejak mendirikan pesantren, dengan penuh semangat KH Hasyim Asy’ari menanamkan sikap antikolonialisme dan mengembangkan rasa nasionalisme kepada santrinya. Bahkan KH Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan fatwa haram untuk mengenakan pakaian seperti yang dipakai orang Belanda, karena itu pakaian orang kafir.
Kemudian hal yang sama juga dilakukan oleh KH Zainal Mustafa. Setelah berhasil mendirikan sebuah pesantren di daerah Singaparna pada 25 Februari 1944, dengan penuh kegigiahan KH Zainal Mustafa memimpin para santrinya melakukan perlawanan terhadap militer Jepang.
Pertempuran itu berawal saat Jepang memerintahkan masyarakat Indonesia melakukan Seikirei’, yaitu sikap membungkuk ke arah Tokyo di pagi hari sebagai penghormatan terhadap Kaisar Jepang (Tenno Haika) dan pengakuan bahwa Kaisar Jepang adalah keturunan “Dewa Matahari” (Ameterasu).
Tindakan tersebut menurut ajaran Islam seperti yang disampaikan KH Zainal Mustafa merupakan perilaku syirik. Karena itu, KH Zainal Mustafa begitu menolak dan memilih memerangi para penjajah Jepang tersebut, hingga akhirnya terjadilah pertempuran. Dalam pertempuran itu banyak santri yang meninggal, dan KH Zainal Mustafa ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Pada saat itu memang sistem pendidikan yang diajarkan setiap pondok pesantren tidak hanya soal keagamaan dan hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga menyentuh persoalan yang dialami masyarakat saat itu. Kondisi masyarakat yang terjajah membuat semangat para santri semakin meningkat untuk mengambil peran membantu masyarakat agar keluar dari kondisi terjajah menuju kondisi berdaulat atau merdeka. Oleh karenanya, berbagai upaya terus dilakukan agar terwujud kemerdekaan.
Lantas jika merdeka telah didapat, apakah semangat itu tetap bertahan? Ya, mereka, para santri itu terus menggelorakan semangat untuk mempertahankan kemerdekaan tanah air. Sebagaimana yang digambarkan pada peristiwa penyerangangan yang terhadap penjajah Inggris dan Belanda pada 10 November 1945 di Surabaya.
Peristiwa tersebut bermula ketika pasukan Sekutu di bawah kepemimpinan Laksamana Muda WR Patterson mendarat di Tanjung Priok pada 15 September 1945. Lalu tank-tank “Stuart” memasuki wilayah Jakarta bersama pasukan Inggris dari kesatuan India. Menyikapi kedatangan tentara Sekutu, KH Hasyim Asy’ari mengajak para ulama melakukan musyawarah pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Dari musyawarah tersebut diperoleh keputusan untuk menyerukan Resolusi Jihad melawan penjajah Inggris dan Belanda pada 22 Oktober 1945.
Lewat Resolusi Jihad, kaum santri “memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata. Untuk itu, di bulan Oktober 1945 berbagai perlawanan telah digencarkan para santri, hingga pada salah satu pertempuran di Jembatan Merah membuat Brigadir Jenderal Mallaby tewas. Hal ini membuat para tentara Inggris begitu marah hingga puncaknya pada 10 November 1945 terjadi pertempuran besar di Surabaya antara para pejuang Indonesia yang sebagian besar adalah kaum santri dengan penjajah Inggris dan Belanda. Lewat pekikan takbir seorang orator bernama Bung Tomo menyemangati para santri mempertahankan Indonesia.
Sampai saat ini para santri terus berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa. Hanya saja di zaman yang semakin maju ini, kontribusi kemerdekaan yang mereka berikan tidak lagi lewat pertempuran, melainkan melalui karya dan ilmu pengetahuan. Sebab dengan ilmu masyarakat yang memiliki pola pikir terjajah perlahan akan mulai membuka mata dan siap untuk menerima perubahan dengan kebebasan sesuai aturan syariat yang telah ditetapka. Begitu besar jasa para santri membuat santri dan kemerdekaan sebagai dua kata yang tidak bisa dipisahkan.