Terkadang pikiran kita dikacaukan oleh perasaan diri kita sendiri. Hal yang sederhana dianggap rumit dan sulit. Sehingga menimbulkan keruwetan terhadap sebuah persoalan yang nota bene sederhana dan mudah diaplikasikan.
Tetapi tidak semua orang bisa memanfaatkan kesederhanaan menjadi lebih sederhana dengan berbagai hal dan alasan. Mereka beranggapan bahwa suatu problematika (termasuk masalah fikih), tidak dapat disederhakan hanya dengan sebuah peranggapan.
Terkait dengan kesederhanaan ini, ada sebuah kejadian yang melibatkan perkara niat. Adalah KH Warits Ilyas (alm) —dari berbagai sumber yang valid, dapat dipercaya, dan bisa dipertanggungjawabkan— yang merupakan sumber inspirasi terkait dengan persoalan niat.
Bagi sebagian orang, termasuk penulis juga pada awalnya, bahwa niat itu harus bersamaan dengan perbuatannya (muqtarinan bi fi’lihi). Nah, definisi “bersamaan dengan perbuatan” ini yang menyebabkan seorang santri senior (tidak diketahui namanya, ada juga yang mengatakan sebagai alumni) berkunjung ke kediaman KH Warits Ilyas, khusus menanyakan tentang niat yang sebenarnya terkait dengan ibadah, khususnya salat.
“Mohon maaf Kiai, kami datang untuk sebuah persoalan,” santri senior itu memulai percakapan layaknya seorang santri yang ta’dhim dan penuh hormat.
“Persoalan apa?”
“Tentang niat, Pak Kiai, terkait dengan salat,” sangat gugup santri tersebut mengutarakan permasalahannya.
“Oh, tentang niat,” jawab Kiai Warits Ilyas yang sepertinya sudah paham apa yang dimaksud. Beliau kemudian melanjutkan, “Tolong ambilkan kitab di rak itu yang paling kanan,” katanya sambil menunjuk kitab yang cukup tebal.
Tanpa ba-bi-bu, santri senior itu bangkit dari duduk dan segera mengambil kitab yang dimaksud. Dalam pikirannya, barangkali Kiai Warits Ilyas ingin menjelaskan terkait niat yang terdapat di dalam kitab itu. Tetapi yang terjadi tidak demikian. Kiai Warits hanya menerima kitab itu, kemudian meletakkan kembali di sisinya, di atas sebuah meja kecil tempat membaca dan menulis.
“Demikian itu yang disebut niat,” almaghfurlah kembali menjelaskan terkait niat. “Perbuatan kamu mengambil kitab itu sudah sah sebagai suatu niat. Tidak perlu bingung dengan kaidah muqtarinan bifi’lihi, karena niat itu adalah segala hal yang dilakukan dengan sengaja dan kesadaran diri.”