Perlunya Pembenahan Tata Kelola Pesantren

Beberapa waktu terakhir, dua berita tentang pesantren sempat ramai dan bikin banyak orang geleng-geleng kepala. Pertama, tragedi ambruknya musala di Pesantren Al-Khoziny Sidoarjo, Jawa Timur, yang memakan korban puluhan santri. Kedua, isu framing negatif Trans7 terhadap Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, yang menampilkan visual kiai seolah-olah yang dikaitkan dengan perbudakan. Menurut saya, dua-duanya jadi tamparan keras; satu soal lemahnya pengawasan, satu lagi soal cara media memotret pesantren tanpa konteks yang utuh.

Isu Ketimpangan Pesantren 

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Tapi kali ini, saya tidak mau ikut larut memperdebatkan siapa yang paling salah. Saya hanya ingin membahas hal yang menurut saya lebih penting dan jarang disentuh. Yaitu, tentang pemerataan jumlah pesantren, izin pendiriannya, dan pengawasan yang, kalau boleh jujur, memang perlu diperketat lagi. Karena, kalau sistem dasarnya belum rapi, hal-hal seperti ini bakal terus terulang dalam bentuk berbeda.

Menurut data Kementerian Agama per Oktober 2025, jumlah pesantren di Indonesia mencapai sekitar 42.391 unit. Angka ini tampak membanggakan, menandakan semangat masyarakat terhadap pendidikan berbasis agama masih tinggi.

Namun, jika ditelusuri lebih dalam, lebih dari 60 persen pesantren itu berada di Pulau Jawa, dengan Jawa Barat memimpin sekitar 12.977 lembaga, disusul Jawa Timur dan Banten. Sementara itu, provinsi di kawasan timur seperti Nusa Tenggara Barat hanya memiliki 958 pesantren, dan di Maluku jumlahnya bahkan hanya puluhan.

Ketimpangan itu menegaskan bahwa pemerataan pendidikan pesantren masih menjadi pekerjaan rumah besar. Akibatnya, akses pendidikan keagamaan bagi masyarakat di luar Jawa menjadi lebih terbatas, sementara konsentrasi pesantren di wilayah tertentu berpotensi menimbulkan disparitas mutu dan fasilitas antardaerah.

Kesenjangan itu berakar pada dua faktor; sejarah dan infrastruktur. Pesantren memang telah berakar kuat di Jawa sejak era Walisongo. Dan dengan semakin berjalannya waktu, jaringan ulama dan alumni membentuk ekosistem yang semakin padat dan mapan. Akan tetapi, daerah-daerah di luar Jawa masih terkendala dalam hal sarana, pendanaan, dan sumber daya manusia (SDM) untuk membangun pesantren secara berkelanjutan. Hal ini yang menurut saya perlu segera dibenahi.

Maka dari itu, pemerintah perlu mengoptimalkan penyaluran dana seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Pesantren agar lebih adil dan berbasis kebutuhan riil di wilayah Timur atau luar Jawa, bukan hanya berdasarkan populasi. Selain itu, diperlukan program pengiriman kiai atau ustaz senior dari Jawa ke luar Jawa, mirip program PTT (Pegawai Tidak Tetap), untuk membantu transfer know-how manajemen yang mapan. Inovasi juga harus didorong, misalnya dengan mengembangkan model pesantren yang adaptif, seperti pesantren berbasis pertanian atau perikanan yang sesuai dengan kearifan lokal di Indonesia Timur.

Isu Pengawasan Pesantren

Selain itu, persoalan mengenai isu perizinan dan pengawasan pesantren juga menjadi penting saat ini. Dari puluhan ribu pesantren, hanya sebagian kecil yang memiliki izin bangunan resmi seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Banyak pesantren berdiri atas dasar inisiatif masyarakat tanpa standar keselamatan dan tata kelola yang jelas. Dan akibatnya, muncul risiko dari segi keamanan santri, akuntabilitas keuangan, dan bahkan kredibilitas lembaga di mata publik.

Saya yakin, sebenarnya pemerintah sudah menaruh perhatian terhadap hal ini, tetapi mekanisme implementasi di lapangan masih lemah. Pengawasan antarinstansi seperti dari Kemenag hingga pemerintah daerah belum benar-benar terintegrasi, sementara birokrasi perizinan kerap berbelit bagi pesantren kecil di daerah.

Penguatan Tata Kelola

Tragedi Sidoarjo menjadi bukti nyata bahwa Izin Operasional dari Kemenag tidak secara otomatis menjamin IMB atau PBG dari Pemda. Kedua izin ini harus menjadi prasyarat yang terintegrasi. Karena itu, perlu dibentuk Tim Audit Keselamatan Pesantren (TAKP) yang melibatkan tiga unsur: Kemenag (data pendidikan), Pemda/Dinas PU (kelayakan struktur bangunan), dan Kepolisian (aspek keamanan dan perlindungan anak), agar tercipta sistem satu data terpadu. Lebih lanjut, mekanisme Pelaporan Kekerasan (Whistleblowing System) yang independen dan mudah diakses santri juga harus didirikan di bawah pengawasan Kemenag atau Komnas Perlindungan Anak untuk menjamin santri terlindungi.

Kasus seperti Lirboyo menjadi cermin penting bahwa tanpa tata kelola yang kuat, pesantren mudah menjadi objek pemberitaan yang salah arah. Framing negatif bisa berkembang cepat ketika publik tidak memiliki data atau pemahaman cukup tentang sistem pendidikan dan kontribusi pesantren. Intinya, jika perizinan, akuntabilitas, dan komunikasi publik masih lemah, maka pesantren tidak memiliki “perisai naratif” untuk melindungi reputasinya. Bahkan lembaga besar seperti Lirboyo pun bisa diserang persepsi yang tidak seimbang, apalagi pesantren kecil yang jauh dari sorotan media.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan