Dari semenjak berdiri, Pondok Pesantren Pembangunan Miftahul Huda atau lebih dikenal dengan Pesantren Cigaru ini telah mengalami lika-liku perjuangan yang panjang. Secara garis besar, kini pesantren yang berada di Cigaru, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah ini sudah bisa dikatakan memasuki lima masa atau periode perjalanan sejarah.
Masa Embrional (1920-1935)
Pada masa ini, Pesantren Cigaru hanya memiliki beberapa santri saja bahkan di bawah 10 santri yang diasuh oleh KH Abdul Madjid. KH Abdul Madjid sebenarnya berasal dari Desa Klangon, Karanganyar, Kebumen. Namun, beliau bermukim ke Cigaru dan mendirikan masjid atas bantuan lurah yang bernama Karmanom. Kemudian masjid Cigaru terkenal dengan sebutan namanya “Karmal Madjid” Gabungan dari nama Karmanom dan Abdul Madjid.
Seiring berjalannya waktu, wibawa dan kharisma beliau mulai nampak serta berpengaruh ke dalam masyarakat sekitar. Dan itu juga tidak bisa dilepaskan dari para santrinya yang ikut merintis dan memperjuangkan Pondok Pesantren Cigaru, di antaranya ada Salaman, Dimungkinkan, Salam, Sairodi, Mad Karman, dan Yasir.
Dari sinilah awal mula berdirinya Pesantren Cigaru, yang kemudian berkembang pesat setelah pesantren ini diwariskan kepada menantunya, yaitu KH Sufyan Tsauri.
Masa Perkembangan (1935-1948)
Pada masa ini, pesantren diasuh KH Sufyan Tsauri, menantu dari KH Abdul Madjid. Dengan berpegang teguh pada amanat sang mertua, maka KH Sufyan Tsauri dalam waktu yang relatif singkat bisa membawa perubahan yang cukup drastis. Pesantren Cigaru telah dipenuhi oleh para santri yang berdatangan dari berbagai pelosok Pulau Jawa, bahkan ada yang datang dari Singapura dan Malaysia.
Di masa ini, Pesantren Cigaru boleh dikatakan menjadi sumber ilmu pengetahuan agama Islam untuk wilayah Banyumas Barat. Bukan hanya itu, Pesantren Cigaru juga melahirkan alumni yang berpengaruh di tengah-tengah masayarakat dan pemerintahan.
Masa Fatroh (1948-1964)
Ketika Pesantren Cigaru sedang jaya-jayanya, di saat yang bersamaan pula rakyak Indonesia sedang hebat-hebatnya melakukan revolusi fisik dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. KHSufyan Tsauri juga ikut bergerilya bersama anak buah dan juga para santrinya. Maka secara otomatis pesantren berada dalamnya keadaan kosong.