para santri di pesantren annuqoyah

Pesantren dan Gerak Kebangsaan

95 views

Tidak mudah membincang soal pesantren dalam perdebatan dan gerak kebangsaan di negeri ini, karena hampir semua bahasan, analisis, dan laporan mengenai kedua peristiwa penting sebagai tonggak gerakan kebangsaan, yakni Kongres pertama Boedi Oetomo 1908 maupun Kongres Pemoeda ke-2 1928 tidak menyebut secara luas peran pesantren di dalamnya. Terutama pada Kongres Pemoeda ke-2, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Batak, Jong Theosofen Bond, Ambonsche Strudeerenden, Minahasa Strudeerenden, Studieclub Indonesia, Boedi Oetomo, dan Muhammadiyah memang disebut sebagai peserta resmi. Tetapi, pesantren dan NU sebagai lembaga/organsasi resmi sama sekali tidak terdaftar. Kesertaan pemuda Wahab Hasbullah, Hasyim Asy’ari, dan Wahid Hasyim dalam perhelatan tersebut diakui sebagai perorangan.

Dua Jendela

Advertisements

Ada dua jendela (entripoint) yang dapat dipakai untuk melongok dan mengawali perbincangan soal tersebut. Pertama, perdebatan seru antara Takdir Alisjahbana dan Dr Sutomo tentang corak masyarakat dan karakter manusia Indonesia baru yang diinginkan di masa depan (Achadiat, K. Mihardja, Polemik Kebudayaan). Dalam perdebatan yang lebih dikenal sebagai polemik kebudayaan yang meruak sejak tahun 1930-an itu, Sutomo yang dalam perdebatan dasar ideologis pergerakan kebangsaan dikenal kritis terhadap ideologi Islam bukan saja terlihat antusiasme terhadap pesantren, tetapi juga gigih membela dan mengkampanyekan untuk memertahankan di tengah gempuran lawan-lawan polemiknya seperti Takdir Alisjahbana. Beruntung, karena Sutomo memeroleh dukungan dari Sanusi Pane dan Ki Hadjar Dewantara, bahkan yang terakhir itu kemudian berusaha mengadopsi sistem pendidikan pesantren untuk diterapkan di Taman Siswa. Kedua, lukisan historis pesantren sepanjang setengah abad (1900-1950), seperti yang dibuat sejarawan, yang memerlihatkan kecenderungannya yang paling kuat untuk terlibat dalam perang gerilya melawan kolonialisme Belanda. Deskripsi mengenai pesantren kala itu melukiskan bahwa lembaga pendidikan ini “menghentikan aktivitas intelektualnya dan bergerak ke hutan untuk menjadi pasukan perang gerilya melawan Belanda”.

Tetapi mengapa Sutomo begitu semangat membela sistem pendidikan pesantren yang kala itu terkenal tradisional, kuno, dan “kampungan”? Justru karena tradisionalitas dan kekunoannya itulah pesantren dapat memenuhi kebutuhan paling mendasar proses pembentukan kebangsaan saat itu dan masa depan. Dengan pilihan lokasi perdesaan dan pinggiran kawasan industri, pesantren bukan saja menjauh dari pusat kekuasaan politik melainkan juga terhindar dari penetrasi kekuatan luar seperti politik kolonial dan kapitalisme, yang keduanya dapat mengantarkan pesantren menemukan identitas diri. Pesantren awal, seperti dituturkan sejarawan Taufik Abdullah (Pesantren dalam Perspektif Sejarah) menjadi “pembentuk dunia” dan realitas pedesaan khususnya di Jawa, sebuah kesimpulan yang juga dikemukakan oleh Gus Dur (Kebangkitan Kembali Peradaban Islam: Adakah Ia?). Dengan kemampuannya melebur hasrat kebirokrasian yang menguat dalam sistem pendidikan Barat ke dalam suasana kekeluargaan (antara kiai dan santri), dan tidak terpakunya pada penumpukan pengetahuan dan pengasahan otak belaka tetapi juga mementingkan pembentukan kepribadian dan karakter manusia, pesantren berhasil melahirkan generasi intelektual yang berbeda dari “intelektual surau” dan “intelektual Barat”. Mungkin karena kesuksesan membentuk kepribadian dan karakter itulah yang menarik perhatian para tokoh pergerakan karena memang soal itu yang paling diperlukan saat itu. Bukankah pokok masalah yang diperdebatkan mereka adalah bagaimana corak masyarakat dan karakter manusia yang dikehendaki di masa depan.

Kehadirannya sebagai subkultur, seperti Tebuireng yang dicontohkan Gus Dur  (Pesantren Profil Sebuah Subkultur), pesantren berhasil menegakkan kehidupan yang manusiawi dengan melawan seluruh tindak kekerasan, diskriminasi dan penindasan oleh para preman dan penguasa pabrik gula. Sebuah kehadiran yang sudah pasti menuai respons keras dari pihak pabrik, tetapi sekaligus mengalirkan simpati sebagian besar warga masyarakat yang memang tertindas. Dan sejak itulah Tebuireng, kata Gus Dur, berangsur berubah menjadi desa di mana setiap sendi kehidupan manusia dan kemanusiaan berdiri tegak dan kehormatan setiap orang dirasakan secara luas.

Peran penting pesantren yang kemudian mengantarkan kiai sebagai pemimpinnya menempati posisi strategis, sentral, dan menentukan tersebut tampaknya masih terlihat nyata hingga awal 1970-an ketika riset-riset mengenai peran pesantren gencar dilakukan. Dhofier (Tradisi Pesanten) Horikoshi (Kyai dan Perubahan Sosial), Nurcholish Madjid (Profil Pesantren), dan Manasurnoor (Ulama of Madura) berkesimpulan sama, betapa kiai dan pesantren menjadi sentral dan agen penting pengawal perubahan. Dalam survainya tentang kepemimpinan di Madura pada 1978, tim peneliti LP3ES mendapatkan kesimpulan yang serupa: 70,20% responden memilih kiai pesantren sebagai pemimpin yang paling dekat, paling dihormati, dan paling dipatuhi; 16,40% memilih pemimpin partai non-kiai dan dukun; dan sisanya (10,40%) memilih pemimpin formal: pejabat birokrasi (Kepemimpinan Sosial di Madura).

Pesantren sebagai Institusi Sosial

Bagaimana, pun pesantren tetaplah sebuah institusi sosial yang, seperti institusi-institusi lain, tak mungkin terhindar dari perubahan. Keberadaannya di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang terus berubah, menyebabkan pesantren merasa selalu tertantang untuk juga berubah baik akibat dari dinamika internal maupun penetrasi kekuatan eksternal. Rekaman kesaksian (pengalaman) sejumlah kiai, antara lain, Kiai Wahid Zaini  (Probolinggo), Kiai Muchtar Syafaat (Banyuwangi), Kiai Abdul Basith (Sumenep, Madura), Kiai Hayat al-Makki (Bendo, Pare, Kediri), Gurutta Ambo Dale (Pinrang, Sulawesi Selatan), Gurutta Farid Wajdi dan Wahab Zarkasyi (Mangkoso, Barru, Sulawesi Selatan), Ajengan Tontowi Musyaddad (Garut, Jawa Barat), Abah Hoed (Babakan Ciwaringin, Cirebon), Kiai Adib Masruha (Mranggen, Semarang), dan Kiai Dawam Amar (Bekasi, Jawa Barat) menjelaskan betapa dilematis kehidupan pesantren terutama ketika modernitas dikibarkan secara besar-besaran di negeri ini. Selaku pemimpin pesantren, mereka merasa terdesak ke dalam situasi sulit, terayun-ayun dalam pilihan antara idealisme dan pragmatisme, antara pembentukan karakter manusia dan pemenuhan pengetahuan dan keterampilan.

Peta perubahan pendidikan pesantren yang dibuat Karl Steenbrink (Pesantren, Madrasah, Sekolah), sangat menarik. Pesantren mengalami perubahan dari model pesantren dengan seluruh kekhasannya hingga sekolah yang tidak berbeda dari sekolah-sekolah di luar pesantren. Konsekuensinya, selain harus dipenuhinya seluruh prosedur birokrasi pendidikan, pesantren kehilangan peran pentingnya melahirkan generasi intelektual yang khas. Tuntutan masyarakat, biasa disebut tuntutan zaman, memang bisa saja menjadi faktor mengapa perubahan itu dipilih oleh pesantren, tetapi sebenarnya sentralisasi pendidikan nasional, semakin merosotnya independensi pesantren, dan keterpanaan pesantren akan modernitas dalam pengertian sederhana secara stimultan menjadi sebab yang menentukan.

Entah ada hubungan kausalistik atau tidak, beriringan dengan perubahan pendidikan itu terjadi pula perubahan-perubahan penting lain yang menentukan. Orientasi kiai dan pesantrennya pada problem-problem kehidupan masyarakat terutama lapis bawah secara pelan tapi pasti semakin memudar, yang pada gilirannya berimplikasi balik pada merosotnya simpati dan dukungan masyarakat terhadap pesantren. Wibawa dan kharisma kiai yang sebelumnya nyaris sempurna menjadi menurun, bahkan pada beberapa kiai menjadi sirna. Dalam kondisi seperti itu, banyak kiai yang kemudian lebih tertarik untuk menekuni soal-soal struktural makro seperti partai politik bahkan jabatan-jabatan birokrasi tertentu. Dengan sangat menarik KH Bisri Musthofa (ayah KH Musthofa Bisri) dari Rembang (Jawa Tengah) melukiskan sekaligus mengkritik kenyataan ini dalam novelnya yang terbit 1969. Begitu banyak kiai, demikian novel itu melukiskan, mulai terbiasa menjalani ritme hidup yang berbeda: seminggu di kampung dan dua-tiga minggu di Jakarta, yang akhirnya mengantarkan mereka berpangku imajinasi global dan terasing dari realitas lokal. Senada dengan itu, Horikoshi menyatakan: peran kiai dan pesantrennya di Cipari, Garut, Jawa Barat sangat penting, dan kesadarannya akan posisi dan status sekaligus memungkinkan ia untuk memanipulasi pahlawan tanpa pamrih, tetapi pada saat yang sama ia juga bertindak sebagai politisi yang bergairah dan penuh kepentingan.

Pada awal 1970-an, beberapa LSM Jakarta menggulirkan program community development (pengembangan masyarakat) melalui pesantren dengan tujuan, selain anti-tesis terhadap model pembangunan top down yang dikembangkan Orde Baru, untuk mencoba mengembalikan peran kiai dan pesantrennya sebagai pengawal masyarakat dalam menghadapi pembangunan yang semakin tidak memihak “wong cilik”. Banyak pihak berharap, waktu itu, bahwa proyek ini akan berimplikasi bukan saja mengikis kemiskinan, membangun keswadayaan masyarakat lapis bawah, dan mengubah orientasi pesantren ke arah yang lebih kontekstual, melainkan juga peran pesantren dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas dapat direaktualisasi. Rois Aam Syuriah PBNU (waktu itu), KH. Ahmad Siddiq dari Jember, merespons perkembangan ini, bahkan berharap akan munculnya ulama pesantren ahli pengembangan masyarakat yang dinilainya sama penting dengan ulama ahli agama.

Perkembangan pesantren kaitannya dengan problem-problem riil masyarakat yang melibatkan sejumlah pesantren dari Jawa-Madura, NTB, dan Sumatera bagian Selatan ini memang menarik. Beberapa pesantren terlihat mampu menegaskan orientasi dan peran baru dalam kiprahnya di tengah-tengah masyarakat sekitar, rata-rata di perdesaan, yang terhegemoni bahkan tersubordinasi. Pesantren Annuqoyah, Guluk-guluk (Sumenep, Madura) menarik diilustrasikan di sini. Di bawah kepemimpinan Kiai Abdul Basith Sadjad, pesantren yang dikitari petani tembakau ini menegaskan perannya sebagai pengawal (agen) perubahan sosial ekonomi, politik, dan kebudayaan. Dengan mengubah fungsi jamaah-jamaah (tahlil, yasinan, dan dibaan) yang bertebaran di Sumenep, bahkan di Pulau Madura, dari upacara ritual menjadi bek rembek (forum rembukan, diskusi, dan musyawarah), sebagai langkah awal, Kiai Basith berhasil mengantarkan masyarakat termasuk kelas bawah sekalipun menjadi subjek, bukan objek, perubahan. Keswadayaan, dalam arti sesungguhnya, pun segera tercipta di kalangan masyarakat Guluk-guluk dan sekitarnya.

Pesantren Annuqoyah

Ada dua proyek besar yang digarap oleh Pesantren Annuqoyah bersama warga sekitar. Pertama, penghijauhan (reboisasi) Pegunungan Luk-Guluk yang, setelah dihijuakan, mampu mengairi bukan saja persawahan di dua kecamatan, tetapi juga memenuhi kebutuhan air rumah tangga di wilayah itu. Sebuah keberkahan yang benar-benar dirasakan oleh seluruh warga. Dan proyek inilah yang kemudian mendapatkan hadiah Kalpataru dari Presiden Soeharto (waktu itu). Kedua, memangkas rentetan jaringan perdagangan tembakau yang kompleks dan melibatkan banyak tokoh termasuk tokoh agama di Sumenep (Huub den Jong, Agama, dan Perilaku Ekonomi), termasuk paman Kiai Basith sendiri yang lama menjadi pedagang tembakau. Suatu rentetan jaringan perdagangan yang selama ini membuat petani tembakau di Sumenep terengah-engah dalam kemiskinan dan tak ada jalan lain kecuali pasrah akan nasib. Upaya Kiai Basith bersama warga yang membuahkan respons keras dari para pedagang itupun berhasil dan petani pun bisa bernegosiasi langsung terutama soal harga dengan Gudang Garam, Jarum, dan Bentul sebagai pembeli.

Dengan kedua proyek itu, Pesantren Annuqoyah menegaskan peranannya sebagai agen perubahan sosial yang dramatis. Pengairan sawah lahan tembakau yang tadinya selalu mengalami kekeringan menjadi lancar sehingga panen tembakaunya melimpah, dan harga tembakau pun yang tadinya mencekik petani dapat dinegosiasi secara langsung, makmur dan sejahtera. Sungguhpun demikian, Kiai Basith hingga kini tidak terbuai oleh mobilitas vertikal, tidak tertarik pada panggung-panggung popularitas. Ia lebih memilih istiqomah di Guluk-guluk bersama santri-santri dan masyarakat sekitar pesantren.

Bisa jadi Annuqoyah adalah sebuah contoh kasus yang tidak dialami oleh pesantren-pesantren lain, bahkan mungkin ada yang mempunyai pengalaman sebaliknya. Sebuah analisa kritis yang dibuat Pradjarta Dirdjasanyoto (Memelihara Umat: Kiai Pesantren-Kiai Langgar) mengenai implikasi gegap-gempitanya proyek pengembangan masyarakat melalui pesantren secara mikro sangat menarik. Dengan mengambil kasus pesantren Kajen, Pati. Pradjarta melukiskan bahwa ada dua dampak penting setelah pesantren Kajen ini bergulat dalam proyek pengembangan masyarakat lebih 20 tahun. Pertama, polarisasi di antara sesama kiai (di Pesantren Kajen terdapat belasan kiai) semakin nyata. Hubungan satu dengan yang lain, yang sebelumnya sangat akrab dan komunal, kini lebih dipengaruhi oleh fungsi dan kepentingan. Bahkan, persaingan yang kurang sehat pun acapkali mengemuka dan dengan mudah dapat disaksikan. Kedua, terangkatnya beberapa kiai ke panggung luar hingga nasional yang mau tak mau mengurangi perhatian, waktu, kesempatan, dan perannya di tingkat lokal. Popularitas mereka di panggung luar itu juga berpengaruh pada diri mereka (secara psikologis) untuk selalu berorientasi “ke atas” dan melupakan akar rumputnya sendiri.

Soal Kebangsaan

Lalu, bagaimana peran strategis pesantren dalam gerak kebangsaan harus dipulihkan? Ada dua soal kebangsaan yang amat penting dan barangkali dapat digarap serius oleh pesantren. Pertama, menyangkut kehidupan bersama atas dasar perbedaan, kesadaran pluralisme, dan multikuluralisme yang dalam istilah politik disebut bhineka tunggal eka. Persoalan paling menonjol dalam hal ini adalah bagaimana mengapresiasi pluralitas kebudayaan termasuk dalam kehidupan beragama. Pesantren, sebagai lembaga keagamaan yang berdiri dan berkembang atas rajut kebersamaan kiai dan masyarakat sekitar, dahulu pernah menunjukkan konsistensinya membela kebudayaan setempat dengan seluruh keragamannya. Pembentukan “Komite Hijaz” yang terdiri dari 11 kiai pengasuh pesantren di Jawa pada tahun 1924, dua tahun sebelum Nadhlatul Ulama (NU) lahir, adalah manifestasi konkret pembelaan tersebut. Komite yang dideklarasikan di Surabaya ini memang secara khusus untuk memperjuangkan penafsiran-penafsiran dan praktik-praktik keberagaman Islam kontekstual, inklusif, pluralistik, dan sesuai dengan kodrat ekologisnya, yang saat itu terancam kekuatan Wahabi yang ditegakkan sebagai satu-satunya kebenaran. Namun secara umum, pembentukan komite ini pun mengartikan bahwa pesantren menunjukkan apresiasinya terhadap ragam artikulasi kebudayaan dan persoalan-persoalan lokalitas yang lebih human ketika berhadapan dengan kecenderungan universalisasi (globalisasi) yang hanya memberikan otoritas kepada sentral dan tidak memberikan ruang akses sedikit pun pada varian-varian yang berkembang secara kreatif dan manusiawi. Bukankah inklusifisme yang terumuskan dalam ususilkhomsah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan pesntren dan NU secara keseluruhan.

Kedua, soal identitas bangsa yang makin keropos. Pesantren yang dahulu pernah sukses membangun identitas diri dan berhasil membangun watak dan karakter manusia tampaknya kini harus memertimbangan untuk kembali ke khittah awalnya. Menegaskan identitas diri di tengah pergumulan struktural maupun kultural yang lebih luas dan memiliki independensi yang tinggi. Pengembangan keilmuan apa pun di pesantren haruslah tetap berangkat dan berasas pada identitas dan independensinya. Jika pesantren awal dahulu pernah mampu mengembangkan keilmuan yang berpihak pada pluralitas dan kepentingan masyarkat sekitar yang tertindas dan marjinal, tidak mungkinkah pesantren sekarang meraktualisasi dan merevitalisasi kemampuan itu? Dalam konteks yang terakhir ini, pesantren dan terutama perguruan tingginya dapat banyak belajar dari generasi intelektual India sekarang yang lebih dahulu berbuat dan sukses dalam mengembangkan keilmuan postcolonial yang berpihak pada diri mereka sendiri yang pernah terjajah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan