Pesantren dan Propaganda Anti-Filsafat

Dulu semasa saya masih mondok di Madura, ada sebuah doktrin bahwa ilmu filsafat itu haram lagi sesat. Bahkan ada sebuah etika yang melekat pada saat itu, bahwa kami para santri tidak dianjurkan menggunakan pulpen berwarna merah. Alasannya bukan karena tidak estetik, tapi karena dulu para ahli filsafat itu -konon katanya- menulis menggunakan tinta merah.

Kampanye penolakan terhadap filsafat ini sebenarnya bukan tanpa alasan. Sebab, selama ini kitab-kitab klasik yang ada di pesantren mayoritas menganut mazhab Asya’irah yang pada zamannya sering kali berkonfrontasi dengan para ahli filsafat.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Ambil contoh seperti kitab al-Dasuki. Bukalah kitab tersebut dan akan kita temukan berbagai sentimen buruk terhadap para ahli filsafat, seperti “orang bodoh”, “gila”, “orang yang tidak mau menerima kebenaran”, dan berbagai sentimen buruk lainnya. Bahkan tak sedikit pula fatwa dari ulama klasik seperti Imam Ibnu al-Sholah, yang mengatakan bahwa mempelajari ilmu filsafat itu hukumnya haram.

Al-hasil, stigma buruk terhadap filsafat menjadi sangat mengakar di pesantren, terlebih pada pesantren yang nuansa salafnya sangat kental. Filsafat divonis sebagai ilmu terlarang, layaknya santet atau ilmu hitam.

Sayangnya, penolakan dan vonis sesat tersebut tidak dibarengi dengan pengetahuan mereka tentang apa itu filsafat. Stigma buruk terhadap filsafat tersebut mereka ambil langsung mentah-mentah dari ungkapan-ungkapan kitab klasik, tanpa pengetahuan sedikit pun tentang apa filsafat itu sendiri.

Jika kita amati, sebenarnya penolakan kitab-kitab klasik terhadap filsafat rata-rata terkait konsep teologis dan ketuhanan. Yang paling sering adalah pembahasan tentang apakah alam itu muncul dari ketiadaan (huduts) atau memang selalu ada (qidam). Para pakar teologi Asya’irah menganggap bahwa alam merupakan salah satu dari ciptaan Tuhan, sehingga ia pasti memiliki awal atau muncul dari ketiadaan. Sementara, para filsuf mengatakan sebaliknya, yakni alam itu qidam.

Ada yang mengatakan bahwa seorang filsuf Islam terkenal, Ibnu Rusyd, mengungkapkan: yang dimaksud alam itu qidam oleh para ahli filsafat, bukan qidam yang bermakna abadi tak memiliki awalan. Akan tetapi, qidam dengan tidak diketahui kapan terciptanya alam.

Jadi, qidam yang dimaksud oleh Asya’irah dan ahli filsafat bisa jadi berbeda. Seperti itulah sedikit gambaran perdebatan antara kaum teologis dan para filsuf. Mayoritas perdebatan mereka bermuara pada konsep ketuhanan dan teologis.

Sudah seharusnya sebelum mengkritik dan menolak suatu gagasan, kita harus mengerti apa yang ingin disampaikan oleh gagasan tersebut. Sebelum memvonis sesat terhadap filsafat, tentu kita harus mengerti apa itu filsafat.

Kata filsafat diambil dari bahasa Yunani: philosophia. Philo diartikan dengan cinta,  sophia berarti kebijaksanaan. Filsafat tidak pernah mengajak seseorang menjadi kafir atau murtad. Filsafat sejatinya mendambakan kebijaksanaan dan kedalaman berpikir. Berfilsafat bukan lantas menyesatkan diri. Justru, sebaliknya, filsafat datang dengan tujuan menjauhkan manusia dari kesesatan.

Filsafat sendiri memiliki tiga tugas utama. Pertama, memperjelas konsep. Filsafat mengajarkan bahwa sebelum menilai sesuatu, maka terlebih dahulu kita harus memahami gagasan tersebut dengan terang benderang. Kedua, mengkritisi. Setelah konsep dipahami, barulah kita mulai untuk mengkritiknya. Ketiga, membangun argumen. Karena kritik yang kuat tentu haruslah didasari dengan bangun argumen yang kuat pula.

Tiga hal tersebut tak selalu soal mengkritisi orang lain. Tapi juga bisa digunakan untuk mengkritisi diri sendiri. Mulai sekarang perjelaslah “konsep” tentang diri sendiri. Pertegas dan perjelaslah diri kita sedang berada di posisi yang mana? Baikkah? Atau burukkah? Setelah itu mulailah mengkritik. Jika buruk, kritiklah! Jika baik tapi tidak sesuai, kritiklah! Setelah mengkritik, mulailah melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu membangun argumen. Bangun solusi untuk masalah dan problem yang telah dikritisi.

Seperti itulah esensi sebenarnya dari berfilsafat. Berfilsafat berarti ingin memahami lebih dalam tentang konsep yang manusia hadapi, termasuk manusia itu sendiri. Dengan demikian, ungkapan para filsuf “alam itu qidam” adalah salah satu hasil dari proses berfilsafat tersebut. Dan tentu kita tidak harus mengikutinya. Kita  juga bisa mengkritisi ungkapan tersebut dengan cara yang sama pula.

Dari sini, kiranya dapat dimengerti bahwa filsafat tidak pernah mendorong orang menjadi sesat. Sebaliknya, ia datang dengan tujuan yang juga dibawa oleh agama, yaitu: pencerahan. Filsafat mengajak untuk merenung dan berpikir lebih dalam, sebagaimana hal itu juga diperintahkan oleh teks-teks agama.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan