Pesantren dan “The Next Gus Dur”

67 views

Diakui atau tidak, sejak awal, pesantren sudah menjadi pusat pembelajaran. Tidak hanya hari ini pesantren yang menjelma euforia di kalangan masyarakat. Ia menjadi promotor keilmuan jauh sebelum sekolah-sekolah (baik swasta atau negeri) lahir.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Kiai Said Aqil Siradj dalam bukunya Berkah Islam Indonesia, pesantren sudah ada sejak era Kapitayan. Kelahirannya bahkan sebelum agama-agama besar di Indonesia (seperti Hindu, Budha, dan Islam) ada.

Advertisements

Setelah agama-agama besar itu sudah datang, maka terjadi relasi antara pesantren dengan agama-agama tersebut. Sehingga, di setiap agama, pesantren memiliki karakter masing-masing. Namun, semangat keilmuannya masih tetap, yaitu memberikan muatan ilmu ikhwal kehidupan manusia, baik dari aspek ekonomi, politik, maupun agama.

Di sini anggapan masyarakat kebanyakan bahwa pesantren berasal dari Islam terbantahkan. Sebab, sebelum Islam masuk ke Indonesia, pesantren sudah ada. Namun, sejak kedatangannya (Islam), keduanya mengalami pembaruan dan penyesuaian.

Pada era Wali Songo, kemudian pesantren mengalami transformasi yang kita kenal saat ini, pesantren yang bernapaskan keilmuan dan keislaman. Di era tersebut, pesantren bukan hanya sebagai media penyebar agama, namun untuk mengajarkan keilmuan secara umum.

Buktinya, pada tahun 1900, sekolah yang diperkenalkan oleh kolonial —dengan pendidikan Baratnya— tidak mengenalkan agama. Namun pesantren tetap mengintegrasikan keduanya.

Ini juga membuktikan bahwa pesantren sebenarnya tidak mengajarkan dan mengenal dikotomi keilmuan. Alih-alih, mengintegrasikan keilmuan-keilmuan itu.

Nah, sementara, di satu sisi, masyarakat kita kerap terkepung dalam bayangan radikalisme. Krisis toleransi dan kemanusiaan yang semakin kronis. Kemajemukan rupanya tidak lagi dianggap sebagai keniscayaan. Sehingga, indikasinya menjalar pada hal-hal yang fatal, seperti caci maki, terorisme, dan krisis kemanusiaan lainnya. Maka, sangat perlu, masyarakat melindungi diri dari amukan demikian.

Lantas, menyikapi hal demikian, apakah pesantren memiliki peran? Tentu, pesantren dengan sistem keilmuan tradisionalnya sangat berperan. Eksistensinya bisa menjadi benteng dari serangan tersebut.

Sikap tolong-menolong, prioritas adab, solidaritas yang menjadi ciri khasnya (pesantren) bisa memberi pemahaman pluralisme terhadap santri. Selain itu juga memberi kesadaran bahwa kemajemukan adalah hal yang patut diamini.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

3 Replies to “Pesantren dan “The Next Gus Dur””

Tinggalkan Balasan