Baju Panjang Pesantren
Orang-orang sering mengira pesantren itu hanya ruang mengaji kitab kuning, menunduk di hadapan kiai, lalu hidup dalam dunia yang sunyi, jauh dari hiruk pikuk. Padahal, pesantren itu sesungguhnya semacam “laboratorium kehidupan”, di mana manusia diuji bukan hanya untuk paham ayat, tapi juga untuk menimbang diri: apakah ia bisa jujur, sabar, ataukah hanya pandai fasih lidahnya.

Perubahan sosial datang seperti banjir bandang. Teknologi, digitalisasi, gaya hidup global—semua menyapu. Anak-anak santri yang dulu hanya membawa sarung, kitab, dan tikar tipis, kini membawa gawai. Dengan satu sentuhan jari, ia bisa membuka seribu kitab, atau juga seribu jurang.
Lalu apa fungsi pesantren? Apakah ia akan tergulung arus perubahan? Tidak. Pesantren punya akar. Seperti pohon beringin di tengah alun-alun. Angin boleh kencang, hujan boleh deras, tapi akarnya menancap dalam. Pesantren bukan sekadar benteng tradisi, tapi juga kompas moral yang memberi arah di tengah bingungnya dunia.
Namun jangan salah, pesantren bukan berarti anti perubahan. Justru pesantren itu sejak awal adalah ruang adaptasi. Ulama-ulama dahulu menulis kitab bukan di awang-awang, tapi di tanah tempat mereka berpijak. Gus Dur, Kiai Sahal, Kiai Bisri—mereka semua membuktikan bahwa pesantren mampu membaca zaman tanpa kehilangan ruh.
Maka santri harus belajar dua hal sekaligus. Pertama, mengakar: jangan sampai tercerabut dari akhlak, dari adab, dari ilmu yang sejati. Kedua, menjulang yang berarti berani menatap masa depan, mengolah teknologi, merumuskan gagasan baru, tapi tetap dengan hati yang tawadhu.
Perubahan sosial itu ibarat pasar malam. Lampunya gemerlap, musiknya hingar-bingar, dagangannya macam-macam. Ada yang asli, ada yang palsu. Kalau kita tidak membawa obor dari pesantren, kita akan bingung membeli. Pesantrenlah yang menyalakan obor itu; agar anak bangsa bisa masuk pasar malam global, tapi pulang masih membawa diri yang utuh, iman yang teguh, dan akhlak yang lurus.
Pesantren selalu dianggap ruang sunyi yang tradisional. Seolah-olah ia berdiri di luar sejarah, di luar gelombang zaman. Padahal sejak awal, pesantren justru hadir sebagai jawaban atas perubahan sosial. Santri belajar kitab bukan hanya untuk menghafal definisi, melainkan untuk menyiapkan diri menafsirkan realitas yang berubah.
Sekarang, perubahan datang lebih cepat. Digitalisasi, globalisasi, dan industrialisasi gaya hidup mengubah cara manusia berpikir. Anak-anak muda mengukur harga dirinya dari jumlah like di media sosial, dari seberapa viral kata-katanya, bukan lagi dari keluasan ilmunya atau keluhuran adabnya. Di sini pesantren diuji: apakah ia akan tetap menjadi mata air yang jernih, ataukah ia ikut keruh oleh arus?
Dalam tradisi pesantren, ada keseimbangan antara ilmu, adab, dan laku hidup. Santri tidak hanya dilatih berpikir rasional melalui kitab, tetapi juga dibentuk melalui keseharian, seperti antre mandi, tidur berdesakan, makan seadanya. Semua itu adalah “kurikulum sosial” yang tidak tertulis, namun justru membentuk karakter. Maka ketika perubahan sosial datang, pesantren sebenarnya memiliki modal kuat: ia terbiasa menyiapkan manusia yang tahan banting, adaptif, dan sadar diri.
Tetapi, perubahan sosial tidak bisa ditolak hanya dengan romantisme masa lalu. Pesantren yang menutup diri akan tertinggal. Sebab, dunia digital bukan sekadar soal teknologi, melainkan soal tata nilai baru; kecepatan mengalahkan kedalaman, instan menggeser proses, penampilan menutupi substansi. Jika pesantren tidak hadir memberi tafsir baru, maka generasi mudanya akan mencari orientasi di luar pesantren—dan seringkali tersesat.
Artinya, penting sekali melihat pesantren bukan hanya sebagai penjaga tradisi, melainkan juga pengelola perubahan. Kiai dan santri harus mampu menjadi penerjemah zaman; menyerap teknologi, tapi memberi ruh akhlak; memanfaatkan globalisasi, tapi menjaga akar lokal; merumuskan strategi sosial baru tanpa kehilangan inti nilai Qur’an dan sunnah. Dengan begitu, pesantren tidak sekadar bertahan, melainkan justru menjadi pusat orientasi moral di tengah pusaran perubahan sosial. Ia bukan menara gading yang terasing, melainkan mercusuar yang memberi arah.
Banyak orang menganggap pesantren hanyalah institusi tradisional yang tugasnya melestarikan kitab kuning, menjaga doa-doa, dan membentuk kesalehan pribadi. Pandangan ini tidak keliru, tetapi juga tidak cukup. Pesantren bukan sekadar ruang mengaji, melainkan arena sosial tempat manusia ditempa menghadapi kenyataan hidup. Ia lahir dari kebutuhan masyarakat untuk menemukan orientasi moral sekaligus strategi bertahan menghadapi perubahan zaman.
Jika kita menengok sejarah, pesantren bukanlah entitas yang statis. Ia pernah menjadi basis perlawanan kolonial, pusat produksi ulama, hingga benteng budaya lokal. Artinya, pesantren selalu berinteraksi dengan perubahan sosial. Pertanyaannya adalah di era digitalisasi, globalisasi, dan disrupsi hari ini, apa masih relevan pesantren?
Pesantren, Modal Sosial, dan Pengelola Perubahan
Pesantren membentuk santri melalui dua jalur sekaligus: ilmu dan laku. Dari kitab, santri diajari kerangka berpikir, tata hukum, serta tradisi intelektual Islam klasik. Dari keseharian, santri belajar kesabaran, solidaritas, dan kesederhanaan. Kedisiplinan hidup berasrama, relasi antara kiai dan santri, serta dinamika antarsantri adalah kurikulum sosial yang tidak tertulis.
Inilah modal sosial pesantren. Ketika masyarakat luar sedang disibukkan oleh kompetisi material dan individualisme, santri ditempa dalam atmosfer kebersamaan. Ia belajar bahwa keberhasilan pribadi tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan kolektif. Di saat dunia luar terjebak pada citra dan penampilan, pesantren menekankan keikhlasan dan kejujuran.
Perubahan sosial hari ini bergerak terlalu cepat. Anak-anak muda hidup dalam kultur digital, di mana penghargaan lebih ditentukan oleh seberapa viral ia di media sosial. Informasi beredar tanpa batas, menciptakan ilusi kebijaksanaan instan. Akibatnya, kedalaman ilmu sering kali digantikan oleh kilatan popularitas.
Dalam situasi ini, pesantren menghadapi tantangan ganda. Di satu sisi, ia harus menjaga ruhnya agar tidak larut dalam budaya instan. Di sisi lain, ia tidak boleh menutup diri, sebab dunia digital bukan hanya tentang hiburan, melainkan juga ruang baru bagi dakwah, pendidikan, dan interaksi sosial. Jika pesantren gagal membaca dinamika ini, ia berisiko menjadi museum: indah dipandang, tetapi tidak lagi hidup di hati generasi.
Kekuatan pesantren justru terletak pada kemampuannya mengelola perubahan, bukan sekadar menolaknya. Tradisi pesantren sejak awal adalah tradisi adaptasi: kitab-kitab klasik dibaca ulang sesuai konteks lokal, kiai merespons kebutuhan masyarakat dengan fatwa dan kebijakan sosial, santri dididik bukan hanya untuk menguasai teks, tetapi juga untuk menjadi bagian dari solusi nyata.
Artinya, pesantren bisa menjadi pengelola perubahan sosial. Teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk memperluas jangkauan ilmu, memperkuat jaringan antar pesantren, bahkan menghidupkan kembali tradisi keilmuan dengan format baru. Namun semua itu harus dilakukan tanpa kehilangan inti; membentuk manusia yang berilmu sekaligus berakhlak.
Pesantren tidak pernah benar-benar terpisah dari perubahan sosial. Ia lahir karena perubahan, tumbuh dengan perubahan, dan kini ditantang oleh perubahan yang lebih dahsyat. Maka tugas utama pesantren hari ini bukan hanya menjaga tradisi, melainkan juga memberi tafsir baru atas zaman.
Jika pesantren mampu menjaga keseimbangan antara akar tradisi dan sayap inovasi, ia akan tetap menjadi mercusuar di tengah gelombang sosial. Ia tidak hanya melahirkan manusia saleh secara ritual, tetapi juga insan yang matang secara sosial, siap menghadapi dunia global tanpa kehilangan jati diri. Maka, pesantren bukanlah benteng yang mengasingkan diri, melainkan rumah peradaban yang terbuka. Dari sana lahir generasi yang mampu menjawab perubahan, dengan tetap berpijak pada nilai yang tak lekang oleh waktu.
Pesantren dan Standarisasi Administratif
Di zaman sekarang, kata “standarisasi” terdengar seperti mantra. Semua harus punya ukuran yang seragam; ada kurikulum nasional, ada akreditasi, ada sertifikasi. Kalau tidak sesuai standar, maka dianggap tidak sah, tidak layak, atau tidak modern.
Tapi masalahnya, hidup manusia itu tidak pernah sepenuhnya bisa distandarisasi. Apalagi pendidikan. Setiap anak berbeda, setiap masyarakat punya ruhnya, setiap budaya punya jalannya sendiri. Di sinilah pesantren berdiri dengan wajah yang khas: tidak menolak ilmu formal, tapi juga tidak tunduk sepenuhnya pada logika standarisasi.
Pesantren sejak dulu memang tidak mengutamakan “standar” dalam arti ukuran yang kaku. Tidak ada ujian nasional, tidak ada rapor dengan angka-angka baku, tidak ada ijazah yang menentukan nilai hidup seseorang. Santri belajar kitab bukan untuk mengejar nilai, melainkan untuk menemukan makna. Ia diuji bukan dengan lembar jawaban, tapi dengan keikhlasan hati, kesabaran hidup, dan ketulusan melayani.
Kalau standar sekolah formal adalah angka, maka standar pesantren adalah adab. Kalau di sekolah ukuran sukses adalah ijazah, maka di pesantren ukuran sukses adalah akhlak. Maka seringkali pesantren dianggap “informal”, karena tidak sesuai dengan bahasa resmi birokrasi pendidikan. Padahal, apa yang disebut informal itu justru adalah kearifan lokal yang otentik, yang telah terbukti membentuk manusia utuh selama ratusan tahun.
Ironisnya, standarisasi kadang melahirkan keseragaman semu. Semua sekolah punya kurikulum yang sama, ujian yang sama, bahkan mimpi yang sama. Akibatnya, anak-anak kehilangan ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Pesantren melawan arus ini dengan caranya sendiri: membiarkan santri tumbuh dalam kultur, tradisi, dan irama yang berbeda-beda. Di Jombang ada corak tertentu, di Madura lain lagi, di Minangkabau juga punya warna khas. Tidak ada yang seragam, tapi semuanya punya ruh yang sama yaitu membentuk manusia yang beriman dan beradab.
Standarisasi juga seringkali mengukur dari sisi luar: berapa gedungnya, berapa fasilitasnya, berapa banyak lulusannya diterima di universitas. Sementara pesantren mengukur dari sisi dalam, seberapa dalam ilmunya meresap, seberapa kuat akhlaknya, seberapa sanggup ia membawa manfaat bagi masyarakat.
Di sini letak perbedaan paradigma. Negara butuh angka, pesantren butuh manusia. Negara butuh sertifikat, pesantren butuh keberkahan. Negara butuh keseragaman, pesantren merawat keragaman. Maka kalau pesantren dipaksa masuk ke kotak standarisasi formal, yang dikhawatirkan justru hilangnya ruh. Pesantren akan sibuk memenuhi administrasi, lupa pada inti pendidikannya. Santri akan lebih mengejar nilai resmi, daripada nilai hakiki. Padahal, yang membuat pesantren bertahan selama ini justru karena ia lentur, fleksibel, dan hidup dari kebijaksanaan kulturalnya sendiri.
Yang perlu digaris bawahi adalah pesantren bukan anti aturan. Ia terbuka pada perkembangan. Tapi pesantren tahu bahwa tidak semua hal bisa diukur dengan standar birokrasi. Ada dimensi manusia yang tidak bisa direduksi menjadi angka. Ada kebijaksanaan hidup yang lahir dari kultur, dari laku, dari pengalaman—yang tidak akan tercatat dalam kurikulum resmi.
Jadi, ketika dunia sibuk menyeragamkan, pesantren justru merayakan perbedaan. Ketika dunia sibuk menghitung angka, pesantren menanamkan makna. Ketika dunia sibuk menstandarisasi, pesantren mengajarkan bahwa setiap manusia unik, dan justru dalam keunikan itulah terletak nilai kemanusiaan yang sejati.