Pesantren, Feodalisme, dan Revolusi Tauhid yang Terlupakan

Suatu malam, setelah tayangan Xpose Uncensored di Trans7 viral, seorang santri menunduk di depan layar ponsel. Di grup WhatsApp keluarganya, orang-orang ramai membahas soal kiai mabuk, santri diperbudak, dan pesantren yang katanya sarang feodalisme. Ia tidak menjawab. Ia hanya menatap jari-jarinya yang dulu begitu sering mencium tangan gurunya setiap pagi. Dalam sekejap, rasa hormat yang dulu suci kini dicurigai sebagai simbol ketertundukan.

Jagat maya kembali bergemuruh. Tayangan itu menyorot kehidupan pesantren dengan tudingan tajam: kiai hedon, memeras tenaga santri, memperalat agama. Potongan visual yang disusun dramatis segera membakar ruang publik. Kata “feodalisme” kembali muncul, seolah menjadi kunci untuk memahami seluruh dunia pesantren.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Namun bagi mereka yang pernah nyantri, tudingan itu terdengar janggal. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan ruang spiritual yang bekerja dengan logika berbeda. Di sana, ilmu bukan komoditas, guru bukan pejabat, dan penghormatan bukan penaklukan.

Orang luar sering keliru karena menilai dengan kacamata modernitas yang serba curiga: semua otoritas dianggap penindasan, semua kepatuhan dicurigai sebagai kebodohan. Padahal dalam tradisi santri, takzim atau penghormatan adalah jalan menuju tazkiyah, penyucian jiwa dari kesombongan.

Kita lupa bahwa Islam sejak awal adalah revolusi melawan feodalisme. Muhammad datang bukan sebagai raja, tapi pembebas. Ia menghancurkan hierarki sosial yang menindas, menegaskan bahwa manusia tidak boleh tunduk pada manusia lain.

“Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab kecuali takwa,” sabdanya. Tauhid di tangan Nabi bukan sekadar doktrin, melainkan proklamasi kebebasan paling radikal dalam sejarah manusia: hanya Tuhan yang layak ditakuti. Semua bentuk pengkultusan manusia adalah pengkhianatan terhadap keesaan itu.

Maka jika di pesantren muncul perilaku yang menyerupai feodalisme—pemerasan, penyalahgunaan kuasa, atau kultus pribadi—itu bukan buah dari tradisi Islam, melainkan pengkhianatan terhadap semangat kenabian. Yang salah bukan ketakziman, melainkan penyimpangannya. Yang keliru bukan hormat kepada guru, tapi ketika penghormatan berubah menjadi ketundukan membuta yang menumpulkan akal.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Aku adalah hamba bagi orang yang mengajarku satu huruf.” Kalimat itu sering disalahpahami sebagai bentuk penghambaan manusia kepada manusia. Padahal, sebagaimana diingatkan para sufi, Ali sedang berbicara tentang penaklukan ego. Ia mengajarkan bahwa ilmu adalah cermin Tuhan, dan siapa pun yang membawa ilmu layak dihormati, bukan disembah. Ia tunduk bukan pada sosok, melainkan pada kebenaran yang mengalir melalui sosok itu. Di sanalah letak kebebasan sejati: kerendahan hati sebagai perlawanan terhadap kesombongan intelektual.

Ismail Fajrie Alatas dalam bukunya What Is Religious Authority? menjelaskan bahwa otoritas keagamaan dalam Islam tidak bersifat koersif, tetapi performatif. Seorang kiai dihormati bukan karena memerintah, melainkan karena memancarkan wibawa spiritual yang lahir dari kasih sayang dan keteladanan. Hubungan santri dan guru bukan hubungan penguasa dan rakyat, tapi hubungan cinta dan penyerahan diri yang sadar. Ketika cinta itu mati dan digantikan oleh ketakutan, otoritas berubah menjadi dominasi. Di situlah pesantren bisa jatuh ke logika feodal.

Ironi muncul ketika ketakziman yang dulu lahir dari etika spiritual berubah menjadi alat untuk menjaga hierarki sosial. Sebagian pesantren tergelincir pada struktur kekuasaan yang menutup pintu kritik. Kiai dijadikan sumber kebenaran tunggal, santri dilarang bertanya, dan patuh tanpa berpikir dianggap paling beradab.

Padahal, dalam sejarahnya, pesantren berdiri di luar struktur kekuasaan, mengajar rakyat kecil, dan menjadi simbol perlawanan terhadap tirani. Para ulama awal bukan penguasa, melainkan pembebas. Mereka anti-feodal dalam makna yang paling murni.

Kasus Xpose Uncensored seharusnya tidak hanya membuat pesantren tersinggung, tapi juga bercermin. Jika sebagian potret itu benar, sudah waktunya pesantren membersihkan diri, bukan dengan menanggalkan takzim, tapi dengan memurnikannya. Takzim sejati bukan berarti menutup mata terhadap penyimpangan, melainkan menjaga martabat ilmu agar tidak berubah menjadi alat kuasa.

Kiai sejati tidak ingin disembah, tapi diikuti jalannya menuju Allah. Santri sejati tidak tunduk pada manusia, tapi menundukkan diri di hadapan kebenaran. Dan pesantren sejati bukan lembaga feodal, melainkan ruang di mana manusia belajar arti tertinggi dari tauhid: bahwa tak ada yang layak ditaati selain Tuhan, dan ilmu hanyalah jembatan menuju-Nya.

Mungkin di sinilah pesantren harus menemukan kembali maknanya di tengah dunia yang gaduh: bukan benteng tradisi yang beku, melainkan ladang pembebasan spiritual yang berakar pada kerendahan hati dan berpuncak pada kebebasan berpikir. Sebab Islam datang bukan untuk menambah rantai-rantai baru, tetapi untuk memutus semua belenggu yang menghalangi manusia mengenal Tuhannya.

Dan mungkin, di antara kitab kuning dan kabel charger, para santri hari ini sedang mencari ulang makna ketundukan. Bukan pada kiai, bukan pada trending topic, tapi pada kebenaran yang membuat mereka tetap manusia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan