Pesantren, Kitab Ta’lim, dan Feodalisme

Belakangan ramai beredarnya framing negatif terhadap keberadaan pondok pesantren. Framing ini menimbulkan stigma negatif masyarakat terhadap citra kiai dan pesantren.

Mencermati framing negatif itu, saya teringat dengan salah satu karya fenomenal yang pernah dipelajari saat berada di pesantren beberapa tahun lalu, yaitu Kitab Ta’lim Al-Muta’allim karya Syeikh Az-Zarnuji. Kita yang wajib dipelajari santri ini memuat beberapa hal yang relevan terkait isu yang beredar, yang menyebut pesantren menghidupkan feodalisme.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Seperti kita tahu, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang telah berabad-abad menjadi benteng moral bangsa. Di dalamnya, tumbuh budaya keilmuan yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga menumbuhkan adab, spiritualitas, dan kebersamaan.

Namun, dalam beberapa dekade terakhir, muncul wacana yang menuding pesantren sebagai lembaga “feodal” — tempat di mana hubungan antara kiai dan santri dianggap terlalu hierarkis, bahkan membatasi kebebasan berpikir. Tuduhan semacam ini mengundang perdebatan panjang. Sebab, di satu sisi pesantren memang memiliki struktur penghormatan yang kuat terhadap kiai, tetapi di sisi lain, tradisi itu tidak dapat disamakan dengan feodalisme sebagaimana yang dipahami dalam sistem sosial politik Barat.

Untuk memahami persoalan ini, kita perlu menelusuri kembali nilai-nilai dasar pendidikan pesantren, yang salah satunya tertuang dalam Kitab Ta‘lim al-Muta‘allim fi Thariq at-Ta‘allum karya Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji. Kitab ini menjadi landasan etik yang menegaskan bahwa penghormatan terhadap guru bukanlah bentuk penindasan atau pengkultusan, melainkan jalan menuju keberkahan ilmu. Dari sinilah kita dapat menimbang kembali: apakah penghormatan kepada kiai benar-benar feodalistik atau justru merupakan ekspresi luhur dari adab al-thalib (etika penuntut ilmu) yang menjadi ruh pendidikan Islam?

Istilah feodalisme sejatinya berasal dari sistem sosial Eropa abad pertengahan yang menempatkan penguasa dan rakyat dalam relasi kekuasaan yang menindas. Ketika istilah itu disematkan kepada pesantren, muncul kekeliruan mendasar dalam memahami konteks budaya Islam. Dalam pesantren, kiai tidak berperan sebagai penguasa sosial, melainkan sebagai murabbi — pembimbing ruhani dan intelektual. Santri menghormatinya bukan karena faktor status, tetapi karena keyakinan bahwa ilmu adalah cahaya, dan guru adalah perantara datangnya cahaya itu ke dalam hati murid.

Hubungan yang tampak hierarkis dalam pesantren sejatinya bukan sistem kekuasaan, melainkan tatanan nilai. Dalam budaya santri, takzim (pengagungan terhadap guru) bukan berarti meniadakan nalar kritis, tetapi mengajarkan keseimbangan antara logika dan adab. Santri diajarkan untuk berani berpikir, namun tetap sopan; berani bertanya, namun dengan rendah hati. Oleh karena itu, menilai pesantren sebagai lembaga feodal berarti gagal memahami logika spiritual yang mendasari proses pendidikan di dalamnya.

Syekh Burhanuddin Az-Zarnuji menulis Kitab Ta‘lim al-Muta‘allim dengan satu pesan utama: bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa adab. Dalam salah satu babnya, beliau menegaskan, “Ilmu tidak akan menetap pada hati yang sombong dan tidak beradab.” Artinya, ilmu bukan sekadar hafalan, tetapi cahaya yang membutuhkan wadah bersih agar bersemayam.

Az-Zarnuji juga menekankan pentingnya niat dan hubungan antara guru dan murid. Guru ibarat pelita, dan murid ibarat sumbu. Bila murid tidak menghormati gurunya, maka pelita itu tidak akan menyala terang. Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam, penghormatan terhadap guru bukanlah ekspresi kekuasaan, tetapi bentuk tafa‘ul (interaksi ruhani) yang membawa keberkahan.

Bila dikaitkan dengan tradisi pesantren, nasihat Az-Zarnuji tampak sangat nyata. Santri yang mencium tangan kiai, menunduk saat berjalan di hadapannya, atau menjaga ucapannya bukan sedang tunduk secara sosial, melainkan sedang menata diri agar pantas menerima ilmu. Itulah makna tawadhu yang menjadi inti pendidikan pesantren — kerendahan hati yang membuka jalan bagi kebijaksanaan.

Mengatakan pesantren feodalistik berarti melihat dari kaca mata modern yang menilai hubungan manusia hanya berdasarkan kekuasaan. Padahal, relasi kiai dan santri berakar pada ukhuwah ilmiyyah dan ukhuwah ruhiyyah — persaudaraan ilmu dan ruh. Dalam tradisi ini, kepatuhan santri bukan penyerahan buta, tetapi bentuk latihan spiritual. Ia belajar mengendalikan ego, menundukkan nafsu, dan membangun kesabaran.

Bahkan, jika ditelusuri, banyak kiai besar yang justru hidup sederhana, membuka diri pada kritik, dan menganggap santri sebagai mitra perjuangan. Feodalisme sejati lahir dari kemegahan dan kekuasaan, sedangkan pesantren tumbuh dari kesahajaan dan pelayanan. Maka, tuduhan feodalisme pada pesantren sejatinya tidak menemukan dasar ketika dihadapkan pada realitas nilai yang hidup di lingkungan pesantren.

Sebaliknya, sistem penghormatan di pesantren menjadi pagar etika yang mencegah munculnya sikap arogan, baik pada guru maupun murid. Kiai yang sejati tidak menuntut ketaatan buta, melainkan membimbing dengan kasih sayang dan keteladanan. Adapun, santri yang beradab tidak akan kehilangan daya kritis, sebab ia belajar berpikir dengan rendah hati.

Di tengah arus globalisasi dan derasnya arus sekularisasi pendidikan, nilai-nilai yang diajarkan dalam Ta‘lim al-Muta‘allim justru semakin relevan. Dunia modern sering kali menekankan kebebasan berpikir tanpa batas, tetapi melupakan pentingnya adab dan tanggung jawab moral. Akibatnya, muncul fenomena “pintar tapi tidak sopan,” “cerdas tapi angkuh,” dan “berilmu tapi tidak berjiwa.”

Pesantren hadir sebagai penyeimbang: mengajarkan bahwa kecerdasan intelektual harus berjalan seiring dengan kesucian hati. Prinsip ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang menekankan pembentukan karakter. Maka, bukan pesantren yang perlu menyesuaikan diri dengan dunia modern, melainkan dunia pendidikan modernlah yang perlu belajar dari pesantren tentang bagaimana membangun pendidikan yang beradab.

Dengan demikian, Kitab Ta‘lim al-Muta‘allim tidak hanya relevan untuk santri, tetapi juga bagi seluruh pelajar Indonesia. Ia mengajarkan bahwa menghormati guru bukan berarti kehilangan kebebasan, dan bersikap rendah hati bukan tanda kelemahan. Justru dari adab lah lahir ilmu yang bermanfaat, dan dari ilmu yang beradab lahir peradaban yang mulia.

Isu “feodalisme pesantren” pada akhirnya hanyalah refleksi dari perbedaan cara pandang terhadap makna otoritas dan penghormatan. Pesantren tidak membangun kekuasaan, tetapi membangun keteladanan. Kiai tidak berperan sebagai penguasa, melainkan sebagai pelita yang menerangi jalan pencari ilmu. Dan santri, dengan segala kerendahan hatinya, bukan budak, tetapi pejalan spiritual yang menapaki tangga ilmu dengan penuh hormat dan ikhlas.

Kitab Ta‘lim al-Muta‘allim mengingatkan kita semua bahwa pendidikan sejati bukanlah perlombaan kecerdasan, melainkan perjalanan memurnikan hati. Maka, ketika sebagian orang menuduh pesantren feodal, mungkin yang perlu dilakukan bukan membantah dengan marah, tetapi menjawab dengan teladan. Sebab, sebagaimana diajarkan Az-Zarnuji, ilmu itu tidak berteriak—ia bersinar dalam diam, dalam kerendahan hati, dan dalam kesetiaan pada adab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan