Ketika membaca Hari-Hari Revolusi Indonesia, catatan harian KH Abdul Chalim Siddiq yang ditulis di tengah kepungan peluru dan kabut perang pada 1947, kita seperti menelusuri nadi bangsa dari bilik pesantren. Di sana, revolusi tidak hanya berlangsung di medan tempur, tetapi juga di hati dan pikiran seorang santri.
Catatan tersebut bukan sekadar kronik peristiwa, melainkan kesaksian spiritual tentang bagaimana pesantren menjelma menjadi subkultur Indonesia, sebuah dunia kecil yang menumbuhkan nilai, disiplin, dan cara pandang khas terhadap kemerdekaan dan kemanusiaan.

Dalam rentang 24 Juli hingga 12 November 1947, KH Abdul Chalim Siddiq merekam denyut perjuangan rakyat di sekitar Jember, Jawa Timur. Ia menulis tentang malam-malam yang sunyi di mana doa dan strategi perang berbaur; tentang masyarakat yang menyembunyikan pejuang di dapur dan lumbung; tentang santri yang meninggalkan kitab kuning untuk memanggul senjata.
Semua kisah tersebut menunjukkan bahwa pesantren bukan entitas terpisah dari bangsa, melainkan bagian organik dari struktur sosial yang membentuk karakter Indonesia: religius, mandiri, dan berjiwa gotong royong.
Pesantren dan Kesadaran Sosial
Sosiolog Robert K Merton pernah menyebut subculture sebagai sistem nilai yang lahir dari konteks sosial tertentu, berbeda tetapi tak terpisah dari budaya dominan. Dalam kerangka itu, pesantren merupakan subkultur khas Nusantara. Ia melahirkan tata nilai, etika, dan habitus tersendiriberakar pada Islam, tetapi tumbuh dalam tanah kebudayaan lokal. KH Abdul Chalim Siddiq adalah representasi nyata dari subkultur itu: seorang kiai yang bukan hanya mengajarkan tauhid, tetapi juga menafsirkan iman sebagai keberanian melawan ketidakadilan.
Dalam catatan harian itu, KH Chalim tidak menulis dengan bahasa heroik; ia menulis dengan kesadaran sosial yang mendalam. “Malam ini kami berzikir sambil mendengar dentuman senjata,” tulisnya di salah satu bagian. Kalimat itu sederhana, tapi menggambarkan dua hal yang hanya bisa lahir dari rahim pesantren: ketenangan spiritual dan keteguhan sosial. Revolusi, bagi santri, bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan jihad kemanusiaan untuk memulihkan martabat bangsa yang diinjak-injak kolonialisme.
Subkultur yang Menumbuhkan Ketahanan
Pesantren sebagai subkultur memiliki sistem sosial yang otonom, ada kiai sebagai pusat moral, santri sebagai komunitas pembelajar, dan tradisi yang menjadi “konstitusi sosial”. Dalam masa revolusi, sistem ini menjadi benteng moral sekaligus jaringan komunikasi perlawanan. Pesantren tidak menunggu perintah pemerintah; ia bergerak dengan naluri kebangsaan.
KH Abdul Chalim Siddiq, misalnya, memimpin laskar Hizbullah, mengorganisasi perlawanan rakyat, dan tetap menulis di sela-sela keletihan perang. Dalam dirinya, spiritualitas pesantren bertemu dengan nasionalisme yang konkret.
Di sinilah menariknya: subkultur pesantren bukan bentuk keterasingan, melainkan cara lain bangsa ini mengatur daya tahan. Ketika kekuasaan politik berganti-ganti, ketika ideologi modern datang silih berganti, pesantren tetap berdiri dengan ritme khasnya, mengaji, bekerja, berkhidmat. Ia seperti akar bambu yang tidak terlihat di permukaan, tapi menahan longsor sosial yang berkali-kali melanda negeri ini.
Warisan KH Abdul Chalim dan Pesantren Masa Kini
Kini, tujuh puluh delapan tahun setelah catatan harian itu ditulis, kita hidup di zaman yang berbeda. Peluru telah berganti dengan wacana digital, tapi pergulatan nilai masih sama: antara keserakahan dan kesederhanaan, antara kapitalisme dan spiritualitas, antara kebisingan dan kebeningan batin. Di tengah semua itu, pesantren tetap menjadi subkultur yang relevan. Ia menawarkan etika kesahajaan, logika kolektif, dan semangat keberpihakan kepada kaum lemah, nilai yang sering hilang dalam masyarakat modern.
Warisan KH Abdul Chalim Siddiq bukan hanya tentang keberanian mengangkat senjata, melainkan keberanian berpikir independen. Dalam dunia yang makin pragmatis, nilai-nilai pesantren—keikhlasan, tawadhu’, kemandirian, dan tanggung jawab social, menjadi kritik terhadap kebudayaan instan. Ia mengingatkan bahwa bangsa tidak hanya dibangun dengan ide besar, tetapi juga dengan kebiasaan kecil yang konsisten: bangun sebelum subuh, belajar tanpa pamrih, menghormati guru, dan mencintai sesama.
Subkultur yang Menjadi Tulang Punggung Bangsa
Pesantren adalah miniatur Indonesia yang sesungguhnya. Di sana ada pluralitas sosial, ada tradisi, ada konflik, dan ada sintesis budaya. Ia melahirkan manusia-manusia yang mampu berdialog antara teks dan realitas, antara Islam dan keindonesiaan. Itulah sebabnya KH Abdul Chalim Siddiq, lewat catatan hariannya, tampak tidak hanya sebagai ulama pejuang, tetapi juga antropolog moral bangsa ini, seseorang yang membaca manusia bukan dari latar sosialnya, melainkan dari nilai yang diperjuangkannya.
Jika bangsa ini sering kehilangan arah, barangkali karena kita melupakan subkultur yang menumbuhkannya. Pesantren, dengan segala kesederhanaannya, telah lama menjadi ruang pembentukan kesadaran nasional. Dari pesantren lahir para pemimpin yang berakar pada rakyat, dari pesantren lahir nilai-nilai kebangsaan yang lembut tapi tegas.
