Pesantren sebagai Subkultur, Masih Relevankah?

Pada tahun 1972, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menulis artikel ringkas namun strategis berjudul “Pesantren Profil Sebuah Subkultur”. Dua tahun kemudian, ia menulis lagi “Pesantren sebagai Subkultur”.

Jamal D. Rahman.

Kedua tulisan tersebut bukan formula akhir, melainkan embrio ide yang tumbuh dalam relasi antara kebudayaan dan kekuasaan pada awal Orde Baru. Di sana Gus Dur menyodorkan keberanian intelektual: pesantren adalah subkultur Indonesia —dunia yang memiliki nilai, norma, bahasa, ritus, dan struktur sosial sendiri.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Gagasan itu relevan dan brilian untuk zamannya. Pesantren ketika itu berada dalam tekanan: marginalisasi sosial, stigma keterbelakangan, dan keinginan negara menjinakkannya menjadi instrumen pembangunan. Dengan menyebut pesantren sebagai subkultur, Gus Dur melakukan dua hal sekaligus: membela otonomi pesantren dan memperkenalkan pesantren ke meja modernitas.

Namun lima puluh tahun telah berlalu. Kini pesantren adalah sebuah ledakan yang merambah ke berbagai lini, menjadi simpul pendidikan, ujung tombak dakwah, kekuatan ekonomi dan politik, hingga juru damai di tingkat akar rumput. Di tengah geliatnya yang tak lagi bisa dipinggirkan, sebuah pertanyaan mengendap: masih relevankah menyebut pesantren sebagai subkultur? Ataukah pesantren telah bertransformasi menjadi salah satu kultur Indonesia —pilar kebudayaan yang ikut menentukan arah bangsa?

Konteks Historis

Sejak abad ke-19, terutama setelah politik etis melahirkan birokrasi pengawasan yang lebih sistematis, pesantren dipandang sebagai sarang resistensi. Para kiai diawasi, pengajian kitab kuning dicurigai sebagai kanal agitasi, dan jaringan tarekat dinilai berbahaya karena mampu mengorganisir massa tanpa struktur formal. Di ruang-ruang mengaji yang tampak sederhana, pesantren bukan hanya mengajarkan fikih dan tafsir, tetapi juga memupuk keberanian spiritual dan solidaritas sosial. Militansi itu membuat pesantren menjadi simpul perlawanan antikolonial.

Pesantren juga menjadi simpul jaringan jamaah haji yang membawa semangat panislamisme dari Makkah. Kiai-kiai yang pulang dari Tanah Suci membawa kabar tentang kebangkitan dunia Islam dan wacana solidaritas umat. Pesantren menjadi terminal ide politik dan kesadaran kebangsaan, bukan sekadar sekolah agama. Dari Aceh hingga Banten, dari Jombang sampai Madura, pemberontakan lahir dari jaringan pesantren dan tarekat. Karena itu, pemerintah kolonial menempatkan pesantren dalam kategori “objek pengawasan”. Bukan mitra.

Keterasingan Intelektual

Memasuki dekade 1930-an, kolonialisme menghasilkan efek kedua: keterasingan intelektual. Dalam Polemik Kebudayaan —gelanggang perdebatan sengit tentang ruh Indonesia masa depan— ruang itu hening dari suara pesantren. Pesantren hadir bagai hantu: menjadi objek pembicaraan, tapi tak mampu bersuara. Ia dibedah, didiagnosa, bahkan dihakimi oleh para pemikir yang tak pernah merasakan bagaimana sarung melorot saat salat berjamaah di musala.

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), tokoh modernisme yang sangat percaya pada rasionalitas Barat, melihat pesantren sebagai lembaga statis. Ia menulis bahwa kehidupan pesantren membuat manusia “tidak terbiasa berjuang”, bahkan memelesetkan kata pesantren menjadi parasitren. STA menyimpulkan: “Semangat persatuan yang berpusat pada kiai dan pesantren itulah yang menyebabkan jatuhnya bangsa kita.”

Sutomo membela pesantren. Menurutnya, banyak murid sekolah Belanda justru pernah belajar di pesantren untuk membentuk budi pekerti dan kedalaman batin. “Faedah pondok dan pesantren-systeem itu sungguh tak dapat diabaikan,” kata Sutomo tegas. Namun, pembelaan itu tetap datang dari luar pagar pesantren. Dalam polemik tersebut, pesantren menjadi objek wacana —dibicarakan, tetapi tidak bicara. Tidak ada satu pun suara dari kalangan pesantren yang terlibat sebagai subjek.

Rangkulan Orde Baru

Saat Orde Baru lahir, negara butuh stabilitas total. Pertumbuhan ekonomi dijadikan bahasa tunggal modernitas. Semua harus efisien, terukur, dan selaras dengan agenda pembangunan.

Pesantren mulai dirangkul negara pada 1970–an. Presiden Soeharto mengunjungi pesantren, diikuti program “Pembinaan Pendidikan Pondok Pesantren” dan berbagai integrasi kurikulum. Rangkulan negara tampak hangat, tetapi mengandung tujuan domestikasi: pesantren diharapkan menjadi instrumen stabilitas sosial.

Rangkaian tekanan sejarah —kolonial, intelektual, dan negara pembangunan— menciptakan posisi pesantren sebagai subjek yang terus-menerus dipandang sebagai objek. Di situlah gagasan Gus Dur kelak bekerja: menggeser pesantren dari objek menjadi subjek.

Gus Dur Merebut Hak Bicara

Pada awal 1970-an, ketika tekanan Orde Baru terhadap dunia sosial dan keagamaan mulai terasa, Gus Dur muncul sebagai suara yang menggeser posisi pesantren dari objek wacana menjadi subjek yang berbicara tentang dirinya sendiri. Ia bukan pengamat luar. Ia lahir dari rahim pesantren, tetapi akrab dengan wacana modern karena pendidikan dan pergaulan intelektualnya. Ia memahami bahasa kitab dan bahasa negara.

1972 — Pesantren Dideskripsikan dari Dalam

Tulisan pertama Gus Dur, “Pesantren Profil Sebuah Subkultur” (1972), adalah usaha memperkenalkan pesantren kepada dunia modern melalui bahasa yang dapat dipahami negara: sosiologi, struktur sosial, sistem nilai, hirarki, dan etos komunitas. Pesantren diperlihatkan bukan sebagai lembaga terbelakang, tetapi sebagai cara hidup.

Menariknya, pada akhir artikel itu terdapat tanggal: 11 Maret 1972. Tanggal ini bukan dekorasi. Ia adalah kode. Dalam sejarah politik Indonesia, 11 Maret adalah hari kelahiran Supersemar, dokumen yang menjadi legitimasi kekuasaan Orde Baru.

Kalau negara punya Supersemar untuk menundukkan masyarakat, Gus Dur punya “Supersemar” untuk membebaskan pesantren dari penundukan.

Di saat negara menggunakan legitimasi politik untuk mengendalikan ruang sosial, Gus Dur menggunakan teks untuk membuka ruang otonomi kultural. Jika Supersemar negara bekerja melalui perintah kekuasaan, Supersemar Gus Dur bekerja melalui bahasa pengetahuan. Yang satu mengatur dunia dari atas, yang lain menguatkan dunia dari dalam.

1974 — Pesantren Menuntut Hak Bicara

Dua tahun kemudian, dalam artikel “Pesantren sebagai Subkultur” (1974), nada Gus Dur berubah. Ia tidak lagi hanya menjelaskan pesantren, tetapi menuntut agar pesantren mendefinisikan dirinya sendiri. Gus Dur menyatakan bahwa pengakuan terhadap pesantren selama ini masih berasal dari luar pesantren, dan karena itu belum menyentuh inti persoalan.

Di sini terjadi perpindahan posisi. Tahun 1972: pesantren dijelaskan oleh Gus Dur kepada negara. Tahun 1974: pesantren menegaskan diri sebagai entitas yang berbicara kepada negara.

Gus Dur menempatkan pesantren di meja modernitas bukan sebagai bahan kajian, tetapi sebagai sumber pengetahuan. Inilah perubahan radikal yang tidak dilakukan siapa pun sebelumnya: pesantren berubah dari objek menjadi subjek.

Strategi Wacana dan Budaya

Ketika Gus Dur menyebut pesantren sebagai subkultur, ia tidak sedang meletakkan pesantren pada posisi lebih rendah daripada kultur nasional. Ia sedang memainkan siasat. Kata itu bekerja seperti pagar lentur: tidak menolak kehadiran negara, tetapi memastikan negara tidak ikut menentukan isi rumah pesantren. Istilah subkultur diterima negara karena terdengar teknokratis dan ilmiah, namun di tangan Gus Dur, istilah itu berubah menjadi alat negosiasi: cara mengamankan otonomi pesantren tanpa perlu bersuara keras.

Subkultur adalah siasat untuk hadir dalam gelanggang, tanpa hanyut dalam hiruk-pikuknya. Seperti akar yang memeluk bumi, ia dekat dengan pusat tanpa menyerahkan kedaulatan dirinya. Istilah itu adalah jubah kesederhanaan yang menyelubungi keteguhan prinsip. Pesantren tetap menjadi dirinya sendiri justru karena ia memilih posisi yang tampak kecil. Bagi dunia modern, subkultur adalah kategori ilmiah. Bagi Gus Dur, ia adalah strategi bertahan —sebuah pagar simbolik yang berkata: “Kami terbuka, tetapi kami punya cara sendiri memahami dunia.”

Pilihan istilah itu juga selaras dengan akhlak kepesantrenan. Di pesantren, kekuatan tidak datang dari klaim ketinggian, melainkan dari ketenangan mengerjakan yang diyakini benar. Tawadu menjadi logika kultural. Menyebut diri kultur terdengar seperti klaim. Menyebut diri subkultur adalah kerendahan hati sekaligus siasat. Dengan begitu, pesantren bisa merapat ke pusat percakapan nasional tanpa kehilangan kemerdekaan batinnya.

Subkultur, dalam pengertian Gus Dur, adalah cara untuk menentukan jarak. Jarak itu yang menyelamatkan pesantren dari penyeragaman Orde Baru. Pesantren menerima perubahan, tetapi menolak penyeragaman. Pesantren membuka pintu, tetapi tidak menyerahkan kunci.

Dari Subkultur ke Pilar Budaya

Pesantren selalu berjalan di tepi sejarah: dicurigai kolonialisme, disalahpahami modernisme, dan hendak dijinakkan oleh negara. Namun justru di tepi itulah pesantren belajar menata jarak. Tidak terlalu dekat untuk kehilangan kebebasan; tidak terlalu jauh untuk kehilangan relevansi. Dari tepi itulah ia melihat, mengingat, dan bertahan.

Sekian lama pesantren hidup sebagai subkultur, bukan karena ia kecil, tetapi karena ia memilih untuk tidak duduk di pusat kekuasaan. Ia lebih percaya pada daya sabar daripada kuasa. Ia menanam bukan untuk dilihat, tetapi untuk menghidupi. Dalam diamnya ada keteguhan; dalam jaraknya ada hikmah. Saat dunia bergerak tergesa-gesa mengejar kemajuan, pesantren justru bergerak dengan ritme yang tidak ingin kehilangan jiwa: pelan, tetapi dalam.

Namun zaman berubah. Pesantren tidak lagi berdiri sebagai enclave spiritual. Kini ia membentang menjadi jaringan pendidikan, lembaga sosial, pusat pengetahuan, simpul ekonomi, medan dakwah kultural, dan sumber daya politik. Ia hadir di ruang digital, di ruang kebijakan, di ruang masyarakat sipil. Ia hadir di kota, di desa, bahkan di ruang-ruang yang tak tersentuh negara. Tanpa mengubah ruhnya, pesantren kini ikut mengubah arah bangsa.

Jika dulu pesantren bertahan di pinggir untuk menjaga kebebasannya, kini ia berdiri di tengah untuk menjaga nilai. Pesantren tidak lagi menjadi alternatif dari kultur Indonesia. Ia menjadi salah satu sumbernya. Di saat dunia terperangkap dalam sikap tergesa-gesa, pesantren memelihara yang lambat. Di saat dunia mengagungkan efisiensi, pesantren merawat kedalaman. Ia tidak menawarkan kesempurnaan, tetapi keutuhan. Tidak menjajakan jawaban, tetapi membuka jalan.

Subkultur adalah cara pesantren bertahan dalam ketidakadilan sejarah. Kultur adalah cara pesantren berdiri ketika sejarah akhirnya mendengarkan. Pesantren kerap dianggap homogen, namun ada heterogenitas dalam kehomogenannya. Ada sikap terbuka, ada spirit keragaman, yang membuatnya cair dan dinamis, dengan menjaga ruh budaya dalam bingkai nilai-nilai yang diyakininya —dengan keringat, doa, dan air mata.

Kini, pesantren tak lagi meminta izin untuk bicara. Suaranya menggema, merasuk ke sumsum kebijakan, dan membentuk denyut nadi batin bangsa. Dari posisinya yang dulu di pinggir peta, pesantren bukan sekadar kembali. Ia telah melompat ke panggung utama —bukan sebagai figuran, melainkan sebagai salah satu sutradara yang menentukan alur kisah Indonesia.

Tetapi tepat di titik itulah, tantangan baru terbentang: politisasi, radikalisme, komersialisasi, pendangkalan budaya, algoritma digital —spiral pendefinisian diri yang belum selesai.[]

Cinangka, 5 November 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan