Pohon Salam*

34 views

Alhamdulillah, demikian benaknya seiring tangan kanannya tampak agak bergetar menerima amplop gaji pertamanya. Ia amat gembira, Gusti Allah Ta’ala memberinya rezeki uang lantaran bekerja, bukan lewat orang tuanya. Ia jadi ingin cepat-cepat sampai ke rumah, memberikan sebagian untuk mereka yang selama ini dengan penuh kasih menafkahinya dan adiknya. Kemudian, seiring motornya melaju, benaknya teliti membagi uang itu bakal untuk apa dan siapa saja.

Dulu sewaktu nyantri, mengatur uang kirimannya sendiri ia telah terbiasa. Ini menjadikannya cukup pandai mengelola keuangannya. Akan tetapi, setelah memperkirakan sisa uang seusai dibagikan nanti hanya pas untuk kebutuhannya hingga waktu gajian bulan depan, tidak ia nyana, sekonyong-konyong muncul seorang lagi yang menurutnya pun pantas menerimanya. Ini menjadikannya bimbang mempertimbangan antara mengurangi jatah siapa atau sebagian kebutuhannya ditunda.

Advertisements

Waktu itu, sementara ibunya tampak sibuk olah-olah alias memasak, ia asyik membersihkan rumah. Tidak lama kemudian, ia mendengar ibunya menyuruh adiknya pergi ke rumah tetangga meminta beberapa lembar daun salam. Rampung mandi dan mematut diri, ia menyantap sarapan dihidangkan ibunya yang ia rasa nikmat sekali. Itu adalah pagi di mana ia akan pergi untuk wawancara kerja dan alhamdulillah berjalan lancar hingga beberapa hari kemudian ia mendapat kabar diterima bekerja.

Karena, boleh jadi ia diterima bekerja lantaran kelancaran wawancara lantaran otaknya bekerja dengan baik lantaran sarapan yang terasa enak sekali lantaran daun salam, maka kepada si pemilik pohon salam ia pun ingin menyampaikan terima kasih dengan berbagi uang tersebut. Hanya persoalannya, sesampainya di rumah tetangganya itu, seusai ia menyampaikan maksud kedatangannya, si tetangga menanggapi dengan menyatakan bahwa menurutnya yang pantas menerima uang itu adalah saudaranya yang telah menanam pohon salam yang tinggal beda kecamatan dengan mereka. Karena rumah ini dulunya milik saudaranya sebelum ditempati olehnya.

Kemudian, sementara tetangganya itu memberitahu arah-arah ke rumah saudaranya, sekonyong-konyong berkelebat dalam benaknya suara yang menyuruhnya untuk membatalkan saja maksud tersebut: mau berbuat baik kok harus serepot itu. Akan tetapi, alhamdulillah, setelahnya berkelebat juga suara dalam benaknya yang menguatkannya untuk tetap melaksanakannya.

Selanjutnya ia teringat cerita yang masyhur di kalangan santri, cerita seorang kiai yang suatu saat mengajak beberapa santrinya mayoran alias makan-makan. Bagi mereka, ini adalah hal yang amat menyenangkan. Hanya persoalannya, ia memberi mereka satu syarat, yakni tidak boleh mengucap basmalah sebelum makan.

Mula-mula mereka agak bingung campur heran, namun karena kiai mereka yang mensyaratkan, ditambah lagi menunya sambal yang acap mereka jadikan lawuh alias lauk makanan alias sambal kesukaan, akhirnya secara kompak mereka mengiyakan.

Usai menyantapnya dengan penuh kenikmatan, mereka uham-uham pada kepedasan. Kemudian, sebelum minum, mereka baru dibolehkan membaca basmalah yang membuat mereka kompak penasaran.

Mereka mengerti kemudian seusai kiai itu menjelaskan, bahwa apabila kita makan tanpa mengucap basmalah, para setan ngrewangi—turut memakan apa yang kita makan. Sekarang, dengan bacaan basmalah sebelum minum, barang tentu setan tidak bisa turut minum alias tetap kepedasan! Rupanya, demikian kurang lebih kesimpulannya: itu adalah cara kiai tersebut ngerjani alias ngerjain setan.

Kisah tersebut menginsipirasinya ngerjani setan yang menurutnya tadi membisikinya supaya membatalkan niatnya, yakni dengan cara memberi juga tetangganya itu karena telah merawat atau setidaknya membiarkan pohon itu tetap tumbuh dan memberikan dedaunannya pada para tetangga yang membutuhkannya.

Kumandang azan Isya terdengar saling bersahutan dari masjid dan beberapa musala saat ia menyetater motornya seusai pamit disusul kemudian sedompol kebahagian merekah dengan begitu indah dalam dadanya karena tampaknya ia telah membahagiakan tetangganya itu. Kebahagiannya kian merekah indah saat teringat sore tadi, setibanya di rumah, ibunya tampak amat bahagia saat menerima pemberiannya hingga-hingga agak bergetar tangannya saat menerimanya. Boleh jadi, demikian benaknya, ibunya amat gembira pertama kali menerima uang dari anaknya atau karena anaknya kini terkait uang telah mandiri juga mau berbagi dengan kerabat dan tetangga. Sementara adiknya tidak kalah bahagia, begitu uang di tangan sekonyong-konyong tubuhnya gidroh-gidroh alias jingkrak-jingkrak ke sana ke mari sembari mengatakan bahwa uang tersebut akan ia tambahkan pada tabungannya untuk membeli sepeda.

“Bukan. Bukan saya yang menanamnya…” jawab saudara tetangganya itu seusai ia memberitahu maksud kedatangannya.

Mendengar hal tersebut, benaknya bertanya-tanya, jika demikian, ayahnyakah yang menanamnya? Padahal, setahunya, ayah orang itu telah meninggal dunia; jika demikan apakah uang tersebut bakal diinfakkan dengan niat menghadiahkan pahalanya untuk ayahnya?

Kemudian seusai ia menanyakan, ayahnyakah yang menanam, saudara tetangganya itu menjawab, “Bukan ayah saya yang menanamnya…”

Kian terdorong rasa penasaran, buru-buru ia bertanya, “Lalu siapa?”

“Seekor burung.”

Rada tercengang ia menimpali, “Hah, seekor burung? Seekor burung yang menanamnya?”

Sementara saudara tetangganya itu mengangguk mantap, sehelai bingung melesat dalam benaknya, bagaimana cara berterima kasih pada seekor burung? Seiring bisikan itu kembali mendesaknya untuk tidak usah repot-repot, batalkan saja niatnya.

Suatu hari, demikian saudara tetangganya itu bercerita, ayahnya tengah mencangkuli pekarangan rumahnya dengan niat menanam pohon mangga. Sekonyong-konyong sesuatu terasa menimpuk kepalanya yang refleks ia mendongak melihat seekor burung terbang melintas dengan begitu asyiknya. Mula-mula ia rada jengkel seiring dugaan bahwa kotoran burung yang tadi menimpanya. Akan tetapi, begitu tahu bahwa itu adalah biji pohon salam, kejengkelannya seketika sirna.

Kendati demikian, mula-mula ia ingin membuangnya, karena apabila tumbuh bakal mengganggu pertumbuhan pohon mangganya. Akan tetapi, seusai sekonyong-konyong terkenang sewaktu kecil ia bersama teman-temannya dengan penuh kegembiraan acap memanjat pohon-pohon salam yang tumbuh subur di pekarangan-pekarangan kampung itu demi memakan buahnya dan mempertimbangkan boleh jadi kelak pohon salam bermanfaat untuk anak-anaknya, ia membiarkannya tetap di situ lalu menggeser posisi yang bakal ditanami pohon mangga.

Cerita tersebut memantik kembali bimbang muncul-tenggelam dalam benaknya sepanjang perjalanan pulang.

Sesampai di rumah, seusai salat Isya, seiring bingung harus berbuat apa demi menunaikan niatnya—sementara yang ada cuma adiknya yang masih bocah—, maka ia ceritakan pada adiknya perihal unek-uneknya.

Antusias sekali adiknya itu menyimak cerita tersebut, terutama saat mendengar bahwa penanam pohon salam adalah seekor burung. Mula-mula si adik membayangkan, si burung dengan amat telaten mematuk-matuk dengan paruh dan mengoker-oker dengan kakinya secara bergantian menggali tanah untuk kemudian memasukan bibit pohon salam ke dalam lubang tersebut dengan cara, sementara kedua sayapnya mengatup menjaga bibit pohon tetap berdiri, satu kakinya mengoker-oker menimbunnya dengan tanah. O, betapa sukar perjuangannya! Untuk beberapa saat si adik memajang mimik kasihan, membayangkan si burung kerepotan dan kelelahan. Akan tetapi kemudian, karena telah berhasil menanam sebatang pohon, si burung melayang-layang di angkasa dengan penuh kegembiraan. Sampai di sini, si adik, seiring kegembiraan mengguyur benaknya untuk kemudian ia tampakan pada wajahnya, sekonyong-konyong berjalan setengah berlari mengitari ruang tengah itu sementara kedua tangannya ia bentangkan untuk kemudian dengan begitu luwesnya ia kepak-kepakkan.

Tidak ia nyana, peragaan adiknya itu sebagai seekor burung yang terbang dengan penuh kegembiraan, merajut pikirannya bertanya-tanya apa yang bisa membahagiakan seekor burung?

Selanjutnya, alhamdulillah—segala puji hanya milik Gusti Allah Ta’ala—, demikian benaknya seiring selembar solusi hadir atas niatnya: karena burung suka bersarang di pohon dan sebagian pohon menghasilkan makanan bagi burung, bagaimana kalau uang tersebut untuk membeli bibit-bibit pohon untuk kemudian ditanam?

Ia semakin mantap, seusai teringat bahwa Kanjeng Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam yang diutus oleh Gusti Allah Ta’ala sebagai rahmat bagi semesta alam menganjurkan umatnya untuk menanam pohon, karena apa yang dihasilkan oleh pohon, baik dimakan oleh manusia atau makhluk lainnya, dicatat sebagai sedekah bagi si penanam.

Demikianlah, pagi harinya yang mana hari libur kerja, ia pergi untuk membeli beberapa pohon buah. Setelah mengajak adiknya menanam beberapa di pekarangan rumah, karena agaknya tidak ada tempat lagi, ia memberikannya ke para tetangganya yang tampak amat senang menerimanya. Sementara itu benaknya membayangkan: kelak boleh jadi burung yang telah menanam pohon salam tersebut atau setidaknya keturunannya turut menikmati manfaatnya.

Kesugihan, 14 Muharam 1446.

*Cerpen peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri 2024. 

Multi-Page

One Reply to “Pohon Salam*”

Tinggalkan Balasan