Beberapa hari yang lalu ramai berita soal murid yang trauma karena dipaksa untuk mengenakan atribut sekolah yang menurut pihak sekolah itu suatu keharusan. Sedangkan, bagi murid justru satu pengekangan. Lantas manakah yang disebut sebagai merdeka belajar itu? Tentu saja terlalu jauh untuk berbicara soal itu di sini.
Fenomena seragam yang biasa terjadi di awal tahun ajaran baru betul-betul menunjukkan suatu tanda kemunduran di dunia pendidikan. Mengapa bukan soal, misalnya, kekurangan buku (puisi) sastra di perpustakaan, atau justru munculnya sekolah tanpa seragam tanpa sepatu, atau sekolah yang hanya belajar membaca sastra dan kesenian? Kok malah yang muncul adalah berita tentang represi atas murid oleh pihak sekolah yang seharusnya mengangkat derajat murid untuk menjadi diri mereka sendiri, untuk menumbuhkan kepercayaan diri sehingga mentalnya kokoh.
Di Bantul, Yogyakarta, tempat saya sekarang menjalani kehidupan, justru terjadi seorang murid merasa tidak nyaman karena dipaksa menggunakan jilbab di sekolah. Pertama, saya melihat berita itu tentu melalui medsos Instagram. Selanjutnya lewat mulut ke mulut dari sebagian kecil warga Bantul itu sendiri. Menarik mendengar pendapat mereka soal berita tersebut.
Sebelum saya berangkat ke kantor (perpustakaan) untuk menulis, saya biasanya ngopi dan rokokan di warung sebelah utara kantor itu. Ada sebuah taman bermain untuk anak-anak, dan di pojok barat sisi selatan terdapat warung. Berita seputar Yogyakarta tentu saja mereka baca bukan lewat koran lagi, melainkan mereka ikuti melalui TV atau medsos.
Seorang anak laki-laki, tepatnya anak dari ibu pemilik warung itu, di suatu pagi itu nyeletuk sambil membacakan berita tentang siswi di Bantul yang dipaksa mengenakan jilbab oleh sekolahnya melalui akun Instagram.
Kemudian, begini respons ibunya -mungkin juga sebagian kita akan merespon sama: “Buat apa maksa-maksa pakai seragam, ya biarkan aja nyamannya pakai apa. Itu kan hak, kok malah jadi seperti mau meng-Islam-Islam-kan (mungkin maksudnya menyeragamkan dengan atribut Islam, walaupun sebenarnya orang Kristen juga berkerudung) orang.”
“Belum tentu juga mereka Islam, mungkin dia Kristen atau agama yang lain ya, Ma,” kata anak laki-lakinya itu.
Mendengar mereka mengakhiri percakapan itu dengan biasa saja, seakan terungkap, “Kok gitu aja repot” atau “Maksudnya apa” atau “Ada-ada aja.” Saya jadi merenung sendiri. Lantas maksud sekolah itu apa memaksa siswinya mengenakan jilbab? Sambil menyeruput kopi dan mengepulkan rokok, saya cuma terkenang bahwa memang dunia sekolah kita mengalami krisis. Kita bisa menengoknya sejenak ke belakang, ke dalam sejarah.
Dulu, sekolah yang berseragam cuma sekolah bentukkan Kolonial Belanda. Harus berseragam dan bersepatu. Lain dengan sekolah Ki Hajar Dewantoro yang bebas-bebas saja. Bersandal boleh. Nyeker boleh. Gak usah seragam-seragaman (kemudian ide itu masuk di Romo Mangun dan teraplikasi kemudian hari di Sekolah Dasar Kanisius). Tapi sekolah itu disebut “sekolah liar” oleh Belanda dan dianggap berbahaya.
Namun bedanya, sekolah Belanda waktu itu masih memberikan akses terutama kepada buku-buku dalam berbagai bahasa seperti Belanda, Inggris, Spanyol, Prancis, dan lain-lain, Juga, buku dari berbagai genre, termasuk sastra. Sehingga, murid di sana (walaupun dirancang untuk jadi peralatan oleh kekuasaan Belanda, namun ada juga yang kembali kepada sikap anti-Belanda/Kolonial) berwawasan luas. Kendati pada masa itu masih amat sangat banyak yang tidak bisa sekolah, apalagi membaca, menurut catatan sejarah, 90% lebih rakyat Indonesia buta huruf.
Dibanding dulu, kini banyak anak yang bisa membaca, meski peringkatnya di dunia masih rendah sekali minatnya akan bacaan. Tapi, suatu fakta bahwa dunia sekolahan menumpulkan kegemaran anak-anak membaca buku.
Saya sebagai mantan guru sekolah menengah pertama merasakan sekali bagaimana buku-buku pelajaran itu tidak membangkitkan gairah murid kepada cinta membaca. Padahal pernah saya uji sendiri, dengan membawa dua tas besar isi berbagai buku koleksi saya, lantas meminjamkannya kepada murid-murid, tidak sedikit yang tertarik membaca, bahkan ada yang membaca novel-novel sastra yang bagus di usia itu seperti Albert Camus, Murakami, dan lain-lain, yang di usia mereka itu dulu saya tidak tahu apa-apa soal sastra, filsafat, dan lainnya.
Memang kebanyakan dari mereka terutama laki-laki lebih memilih bacaan komik daripada novel atau puisi. Sedangkan, perempuan ada cukup banyak juga yang tertarik puisi, cerpen, dan novel. Itu membuktikan bahwa mereka tertarik, ditambah tiap saat plajaran mereka mendengar dongeng-dongeng dari saya atau menonton film pendek yang diangkat dari cerpen seperti Mata Yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari, yang membuat mereka makin penasaran.
Saya sangat yakin kalau murid-murid itu kritis, bahkan mampu membantah pengatahuan kita (para guru). Saya punya pengalaman dibantah oleh salah seorang murid perempuan. Waktu itu topik yang dibicarakan adalah kelangkaan oksigen. Dia membantah bahwa kita bisa mengganti oksigen itu dengan uap. Lantas saya bertanya pada murid itu, darimana ia tahu. Ia menjawab dari film Doraemon. Saya kaget sekaligus senang.
Artinya, murid-murid setingkat SMP itu sebetulnya sudah mampu berargumen bahkan dengan kritis. Masalahnya hanya minim informasi, terutama tidak ada buku yang bagus di perpustakaan sekolah, dan tidak ada dongeng yang menarik diceritakan oleh guru-guru mereka menyangkut dunia buku atau sastra. Sehingga tidak ada dorongan kuat mereka untuk tahu “begini dan begitunya” buku. Bahkan ada seorang siswi yang menenteng buku ke mana-mana sejak saya sering bercerita seputar buku, padahal dia adalah seorang atlet lari.
Rasanya kondisi krisis di sekolah itu sulit dibenahi sebab tidak adanya faktor-faktor yang mendukung perubahan. Tidak ada sistem dan tidak ada aktor penggeraknya. Kita tahu ada sekolah yang bagus seperti Sanggar Alam di Yogyakarta (atau biasa disebut Sekolah Salam). Namun sekolah itu pada akhirnya tidak bisa menjadi gratis untuk setiap orang. Banyak yang sekolah di sana adalah anak yang orang tuanya kaya, yang jelas secara finansial tak kekurangan. Sekolah untuk anak-anak kampung yang betul-betul terjangkau nyatanya tidak ada. Dan mestinya itu tugas pemerintah.
Untuk menutup tulisan yang ke mana-mana ini, saya ingin mengatakan bahwa dahulu Soekarno pernah membayangkan apa yang dinamakan “Perpustakaan Rakyat” yang kemudian dia bayangkan menjadi Universitas Rakyat. Artinya, basis dari sekolah mestinya adalah perpustakaan, bukannya cuma buku-buku pelajaran, apalagi seragam. Dua hal terakhir itu kita tahu adalah proyek, tentu proyek tidak akan buruk kalau orientasinya benar-benar luhur.
Kita ingat juga sekolah Ki Hajar Dewantara itu banyak mengajarkan kesenian seperti gamelan, menggambar, dan lain sebagainya. Artinya, antara dunia buku dan keterampilan seni yang mengajarkan intelek dan rasa itu begitu penting dalam dunia pendidikan. Juga, di era sekarang bertambahnya laboratorium penelitian, penting untuk menumbuhkan minat pada sains. Tapi sekali lagi, hal itu tidak bisa dilakukan sendiri. Harus direncanakan matang. Dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan didukung habis-habisan oleh pemerintah baru bisa terwujud. Itu harapan saya.
Kita perlu menghidupi kebudayaan dengan melakukan berbagai hal yang bernilai bagi kemanusiaan, agar supaya tidak terjerumus dalam jurang krisis yang berakibat panjang. Dan tugas dunia pendidikan beserta orang-orang di dalamnya, dan tentu saja kita semua warga Indonesia, adalah menjunjung kemanusiaan bukannya hal yang sifatnya imanen seperti cuma soal atribut, tapi isi yang sifatnya lebih transenden. Wassalam.