Dalam tulisan sebelumnya, telah dibahas bagiamana pengaruh lingkaran pertemanan, selera, dan literatur memengaruhi bagaimana posisi Gus Dur sebagai kiai bisa berbeda dengan posisi umumnya kiai dalam memandang musik dan ekspansi situs keislaman. Hal itu hanya sekelumit sampel kecil dari seabrek tulisan-tulisan Gus Dur yang tercecer di banyak media, yang tentu dapat menjadi bahan analisis yang lebih luas lagi.
Selain menyoroti aspek kebahasaan seperti pilihan diksi, struktur kalimat, dan komposisi antara kata sifat, kata kerja, dan kata keterangan, analisis pemikiran seseorang juga dapat dilakukan dengan cara menelusuri tradisi intelektual, permainan paradigm, dan buku-buku yang dibacanya.
Ambillah contoh, fenomena Youtuber islami yang mendadak kaya berkat vlognya. Seorang simpatisan Islam akan mengatakan bahwa itu adalah berkah dari Allah karena ia berhasil berdakwah kepada orang banyak.
Seorang pengamat komunikasi dari tradisi Marxis akan mengatakan bahwa itu adalah hasil dari pertukaran antara data pribadi dan pasar atensi (perhatian) yang akan memicu bentuk ketimpangan ekonomi baru berdasarkan kepemilikan alat dan kemampuan digital.
Seorang sosiolog dari tradisi fungsionalis akan melihat bahwa kekayaan itu merupakan indikasi bahwa teknologi digital dapat menjadi “alat” pendongkrak kesejahteraan yang efektif dan mudah.
Tentu tiga cara pandang tersebut punya cara khas masing-masing dalam membahasakan pemikirannya, yang dapat kita kenali seketika bila kita berada pada posisi atau tradisi intelektual yang berbeda dengannya. Bila kita berada posisi yang sama, atau bila hanya memiliki satu kacamata, maka sikap kita biasanya cenderung afirmis.
Kelebihan Gus Dur adalah kemampuannya dalam bergonta-ganti kacamata, sehingga orang yang terpaku pada satu kacamata tertentu, kalau tidak nggerundel, maka manggut-manggut saja ketika mendengarnya. Hal ini tidak lain berakar dari keragaman petualangan intelektual Gus Dur: dari kitab kuning, mazhab kiri, sastra dunia, hingga terbitan-terbitan kecil seperti majalah.
Inilah yang menarik ketika membaca esai-esai Gus Dur: tulisannya pendek, tapi kita perlu menggali lebih dari sekadar informasi, namun juga menggali hingga ke “tulang” di balik tulisan-tulisan singkatnya. Karena, dalam proses membaca, hal berharga selain informasi baru adalah teknik permainan logika dan permainan cara pandang yang digunakan si penulisnya.