Seakan menjadi tragedi tahunan, setiap bulan Ramadan, razia warung makan dengan segala teknisnya merupakan sebuah realita. Begitu juga dengan Ramadan kali ini. Di beberapa tempat (seperti di kota Serang, misalnya) ada pasukan Satpol PP yang merazia warung makan dengan tindakan yang terkesan arogan. Memaksa pemilik untuk menutup warungnya, bahkan ada yang tega membawa peralatan masak seperti megic com dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini menjadi perdebatan, apalagi Satpol PP melakukan razia berkedok peraturan yang dibuat di daerah tersebut.
Rasanya perlu ditinjau ulang peraturan yang melarang warung makan buka di siang bulan Ramadan. Karena kita hidup di negara yang beragam agamanya; Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Ada pula muslim yang karena kaidah syari tidak dapat berpuasa, baik sebab sakit, musafir, menyusui, terlalu sepuh, dan lain sebagainya. Jika kemudian aturan itu dianggap sebagai bentuk toleransi dan untuk menghormati orang yang berpuasa, setidaknya dengan cara yang tidak mencolok, orang yang tidak puasa juga harus dihormati agar mereka tidak kelaparan dan dapat beraktivitas sebagaimana mestinya.
Khusyuk Puasa
Menutup warung makan karena ingin lebih khusyuk dalam melaksanakan ibadah puasa merupakan hal yang sangat baik —demikian menurut Sa’diyah Makruf di dalam twitter miliknya. Sebuah niatan yang benar-benar berharap lebih dekat (taqarrub) kepada Allah. Namun, menghalangi seseorang yang ingin mencari kehidupan, mengharapkan sesuap nasi di tengah pandemi Covid-19 yang masih mengancam, merupakan tindakan yang tidak mencerminkan etika. Tidak seharusnya orang yang ingin mencari kehidupan diberangus dengan berasaskan sebuah aturan. Selayaknya, aturan itu ditinjau ulang.
Khusyuk puasa tidak semata karena ada warung makan yang buka. Namun, puasa yang sebenarnya adalah bagaimana kita menahan segala hal yang membatalkan pahala puasa. Bukan sekadar menahan lapar dan haus, jauh dari itu adalah menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang bersifat makar. Karena hal tersebut akan menciderai nilai dan kualitas dari ibadah puasa itu sendiri.
Dari Sayyidina Abu Hurairah ra, baginda Rasulullah SAW bersabda, “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa pun dari puasanya kecuali lapar. Banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapatkan apa pun dari bangun malamnya kecuali keletihan berjaga malam.” (HR Ibnu Majah, Nasa’i, Ibnu Khuzaimah dan kitab At-Targhib).
Hadis tersebut memiliki banyak penafsiran terkait orang puasa yang hanya mendapatkan haus dan lapar. Mereka tidak memperoleh berkah dan hikmah puasa karena berbagai hal. Para ulama berbeda pendapat dalam hal apa saja yang orang puasa itu hanya mendapatkan haus dan lapar.
Ada ulama yang mengatakan bahwa orang yang berpuasa dan tidak mendapatkan apa-apa selain lapar dan dahaga adalah karena mereka berpuasa dan berbuka dengan makanan yang haram. Ada pula yang berpendapat bahwa karena terjerumus ke dalam fitnah dan ghibah, maka ia pun tidak mendapatkan apa pun dari puasanya. Begitu juga dengan amalan ibadah yang dilakukan secara riya’, bukan karena Allah, maka ibadah ini juga menuai kesia-siaan.
Kualitas Puasa
Sesungguhnya, melihat orang yang tidak puasa dengan berbagai alas an merupakan sebuah ujian yang membuat nilai ibadah puasa kita semakin berkualitas. Tidak perlu melakukan tindakan makar dan apalagi anarkis yang akan memicu permusuhan di kehidupan bermasyarakat. Meningkatkan kualitas puasa dengan cara saling menghargai dan menghormari, baik yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Sehingga, yang berpuasa tidak melakukan tindakan-tindakan di luar kontrol. Begitupun dengan yang tidak berpuasa, tidak makan atau minum secara mencolok di depan orang-orang yang berpuasa.
Jika kesalingan dalam penghormatan terjadi, bukan tidak mungkin kualitas puasa kita akan semakin baik. Ibadah puasa merupakan ibadah yang hanya Tuhan saja yang akan membalasnya. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman yang artinya: kecuali amalan puasa, amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabb-Nya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah daripada bau minyak kasturi.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jaga Hati Saat Puasa
Terkadang, tanpa disengaja, hati kita merasa lebih baik daripada orang yang tidak puasa. Hal ini merupakan salah satu penyakit hati yang harus kita hindari. Karena merasa lebih baik daripada orang lain merupakan salah satu sikap sombong.
Dari Uqbah bin ‘Amir RA, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, “Orang yang meninggal dunia, dan ketika ia meninggal itu di dalam hatinya masih ada sebesar biji sawi dari sombong, maka tidaklah halal baginya surga, tidak mencium baunya dan tidak pula melihatnya”. (HR. Ahmad)
Hadis tersebut menjelaskan bahwa sifat sombong akan menyebabkan seseorang masuk neraka. Bahkan mereka tidak dapat mencium bau surga dan apalagi melihatnya. Dari sini kita diharuskan menjaga hati agar tidak terjerumus ke dalam jurang kesombongan. Termasuk menjaga hati juga adalah tidak sirik dengan orang-orang membuka warung di siang hari bulan Ramadan. Sebab mereka yang membuka warung memiliki kepentingan yang tidak kita ketahui. Misalnya, menyediakan makanan bagi yang tidak berpuasa karena berbagai alasan, terutama yang memiliki alasan syari.
Untuk mendapat kualitas yang baik, ibadah puasa merupakan sebuah ujian. Dalam Al-Quran Allah berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia benar-benar mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut: 2-3).
Di bulan suci ini semoga kita diberi ketabahan oleh Allah agar lebih menahan diri dari perbuatan-perbuatan anarkis dan makar-makar lainnya. Sehingga ibadah puasa kita, tidak hanya bernilai lapar dan haus, namun jauh di balik rasa haus dan lapar akan mendapat pahala surga dari Alla. Wallahu A’lam!