Reinterpretasi Kurban dalam Perspektif Sosiokultural

19 views

Momentum Idul Adha mengajak kita mengeja makna berkurban. Baik itu makna memenuhi panggilan syariat maupun memenuhi tanggung jawab besar di tengah masyarakat. Kurban harus menjadi momentum unjuk gigi dalam pengelolaan ekonomi Islam. Bukan hanya membedakan antara si miskin dengan si kaya, melainkan mengikat keduanya dalam jaringan ekonomi Islam berkemajuan.

Beberapa hari sebelumnya, pun kita miris melihat rincian kasus kekerasan, radikalisme, dan pelanggaran HAM. Kemudian menyusul kasus suap dan korupsi yang membuat rugi negeri. Hal tersebut didukung oleh pengawasan keadilan yang masih dirasa kurang. Mereka yang bertindak sebagai pelaku kejahatan, nampaknya belum mempunyai rasa “berkurban”. Sebuah rasa yang mengantarkan empati, dari hati menuju kemakmuran negara.

Advertisements

Banyak di antara kita yang masih menyimpan sifat egoistis dengan memenangkan kepentingan pribadi. Berpesta pora di atas penderitaan saudara. Sudah tidak ada lagi batasan antara peraturan dan hukuman, yang ada hanyalah kekayaan dan keuntungan. Sebisa mungkin mengambil celah untuk memupuk kekayaan melalui lubang sekecil apapun.

Dengan melihat rentetan kasus yang mengerikan, rupanya esensi kurban masih berhenti pada tahap ritual semata. Ibadah kurban hanya dijadikan sebagai ajang bagi-bagi tanpa pemaknaan sejati. Atau dengan kata lain, kurban yang dilaksanakan masih jauh dari parameter kesejahteraan yang digalang dari empati setiap insan. Kita melaksanakan kurban tanpa mengetahui makna terselubung yang ada di dalamnya.

Pemaknaan seperti itu akan menggeser tujuan dari kurban itu sendiri. Kurban yang dahulu ditujukan sebagai semangat persaudaraan dan keikhlasan, berubah sebagai titah sebagai perayaan semata. Padahal dalam pemaknaan dalil kurban, ibadah tersebut digambarkan sebagai panggung unjuk persaudaraan yang dibangun umat Islam. Bagaimana umat yang memiliki latar belakang kaya raya mau membagikan harta yang paling berharga untuk saudaranya yang papa.

Menilik sejarah, pun kita melihat Ibrahim yang secara suka rela membagikan banyak hartanya kepada fakir miskin. Tidak peduli seberapa besar harta yang dikeluarkan, asalkan mempunyai esensi persaudaraan, dengan senang hati Ibrahim mengeluarkan hartanya. Bahkan, dalam suatu kisah, Nabi Ibrahim pernah mengurbankan 1000 kambing, 300 lembu, dan 100 unta. Sangat jelas jika kurban menjadi ibadah sosial yang mengangkat derajat manusia melalui semangat berbagi. Mereka membeli hewan ternak yang dianggap mewah pada zaman itu. Kemudian membagikannya, yang menjadi bukti emansipasi kaum duafa.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan