Paling tidak, ada dua tantangan besar yang dihadapi Pancasila saat ini. Pertama adalah adanya sekelompok kecil orang yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain, baik yang berbasis agama maupun sekuler. Kedua, bagaimana agar nilai-nilai Pancasila itu dapat terimplementasikan secara optimal dalam kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Memang, dua hal tersebut harus kita hadapi dengan sebaik mungkin. Pada kesempatan ini saya hanya memberikan sekelumit kontribusi terkait dengan tantangan pertama tersebut, khususnya tentang realasi Islam dan Pancasila. Pertanyaan yang akan dijawab di sini adalah: “Bolehkah umat Islam menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?”
Pertanyaan ini perlu dijawab karena ada sebagian kecil umat Islam yang mengatakan bahwa umat Islam tidaklah dibenarkan menerima ideologi lain selain Islam.
Sahiron Syamsuddin.
Pandangan Islam terhadap Peraturan yang Dibuat oleh Manusia
Di dalam banyak ayat al-Quran terdapat kata ‘urf atau ma‘rūf. Salah satu contohnya adalah Q.S. al-A‘rāf (7): 199:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
(Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh).
Baik di dalam ayat ini maupun di ayat-ayat lain yang menyebut kata ma‘rūf, konteks tekstual kata tersebut adalah relasi antarmanusia. Pertnayaannya adalah: “Apa makna kedua kata itu?” Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kedua kata itu. Dari sekian pendapat, pandangan al-Zamakhsyarī, seorang ahli bahasa dan salah satu tokoh Mu’tazilah, dalam kitabnya al-Kasysyāf mengatakan, “Kata ‘urf itu berarti: al-ma‘rūf wa al-jamīl min al-af‘āl (perilaku-perilaku yang ‘dikenal’ dan baik/indah) (al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 2: 545).
Penafsiran yang senada bisa didapati juga pada penafsiran Abū Ḥayyān, seorang mufassir sunni: al-ma‘rūf wa al-jamīl min al-af‘āl wa al-aqwāl (perbuatan dan perkataan yang ‘dikenal’ dan baik/indah) (Abū Ḥayyān, al-Baḥr al-Muḥīṭ, 4: 444). Di tempat lain, dia mengatakan, “Al-ma‘rūf al-wajh allażī yaḥsunu fī al-syar‘ wa al-murū’ah” (Ma‘rūf adalah bentuk perilaku yang baik menurut syara’ dan murū’ah [kewibawaan]) (al-Zamakhsyarī, al-Kasysyāf, 1: 463).
Dari penafsiran semacam ini kata ma‘rūf mencakup segala sesuatu yang dipandang baik, baik menurut wahyu maupun menurut akal budi manusia. Dengan demikian, al-Quran tidak menafikan kesepakatan (aturan) bersama manusia untuk dijadikan pegangan juga dalam menjalani kehidupan bersama. Hasil pemikiran manusia yang kemudian diikuti oleh generasi berikutnya secara terus menerus disebut dengan tradisi atau adat-istiadat, dalam Bahasa Inggris ‘tradition’, dan dalam Bahasa Arab ‘urf atau ‘ādat.
Istilah ‘urf dan ‘ādat ini kemudian dipakai sebagai salah satu sumber hukum Islam oleh para ulama ahli Ushulul Fiqh dengan syarat tradisi atau adat istiadat tersebut secara substantif tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Ungkapan al-‘ādat muḥakkamah (tradisi itu bisa dijadikan ketetapan hukum).
Wael B Hallaq —ketika mengelaborasi pandangan ‘Abd al-Khallaf tentang ‘urf— mengatakakan, “ … he seems certain that those practices (‘urf) that conform to the law are to be accpted as valid, whereas those that contradict the law must be deemed null and void.” (Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, 221). Para ahli sejarah hukum fikih Islam mencatat bahwa banyak ketetapan hukum Islam, khususnya terkait dengan mu’amalah (tansaksi bisnis), didasarkan pada kebijakan lokal (local wisdom).
Dari keterangan di atas dapatlah kita katakan bahwa peraturan/ketetapan atau kesepakatan manusia bisa dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hal-hal yang terkait dengan kehiduapan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara.
Piagam Madinah sebagai Kesepakatan Bersama
Ketika Nabi Muhammad Saw hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau melihat bahwa komunitas Madinah itu plural, baik dari segi suku, bahasa, maupun agama. Saat itu, terdapat dua suku besar, yakni Aus dan Kharzraj. Agama mereka pun bervariasi: Yahudi, Kristen, Islam, dan Majusi. Karena itu, beliau membentuk kesepakatan bersama antarkomunitas, yang dikenal dengan “Piagam Madinah” (Mīṡāq al-Madīnah; the Medinan Charter), dengan tujuan mempersatukan umat/masyarakat yang plural tersebut.
Hal ini merupakan contoh langsung dari Rasulullah Saw bahwa kesepakatan bersama itu bisa menjadi acuan untuk hidup bersama dalam sebuah negara atau apa pun namanya. Apa yang dilakukan oleh beliau merupakan pengejawantahan atas konsep ‘urf atau ma‘rūf tersebut di atas.
Melihat hal ini, bisa kita katakan pula bahwa beliau adalah seorang “republikan” yang tertarik untuk mengayomi semua komponen yang ada di Madinah di bawah kesepakatan bersama. Dengan kata lain, Negara Kota Madinah (masa Nabi) adalah contoh dari nation states (negara-negara bangsa) dengan Piagam Madinah sebagai semacam undang-undang dasarnya.
Pancasila sebagai Kesepakatan Bersama Bangsa Indonesia
Piagam Madinah inilah yang menjadi inspirasi bagi kiai-kiai, seperti KH Hasyim Asy’ari, yang bersama founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membentuk dasar negara kita, Pancasila, yang merupakan kesepakatan bersama dan bisa mempersatukan bangsa yang sangat plural, baik dari segi suku, bangsa, bahasa, maupun ras. Berdasarkan hal itu, memproklamasikan NKRI dan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa itu berarti ittibā‘ li sunnati Rasulillāh Saw (mengikuti sunnah Rasulullah Saw), yakni meniru Piagam Madinah.
Karena itu, seluruh umat Islam Indonesia, dan bahkan semua komponen bangsa, harus mempertahankan NKRI dan Pancasila ini dan membangunnya secara kontinu sesuai dengan perkembangan dan situasi zaman. Mempertahankan NKRI dan Pancasila, bagi umat Islam, hukumnya wajib, karena bila tidak, maka yang akan terjadi adalah perpecahan dan perang saudara.
Di dalam Ushul Fiqh kita kenal konsep sadd al-żarī‘ah (menutup/menghindari terjadinya sesuatu yang dilarang). Karena menghindari perpecahan dan perang saudara itu hukumnya wajib, maka hukum menjaga NKRI dan Pancasila wajib pula. Seandainya sekolompok orang memproklamasikan bentuk negara lain, seperti Khilafah Islamiyah, di suatu wilayah di Indonesia, maka wilayah-wilayah lain yang mayoritas penduduknya bukan muslim jelas tidak bersedia berada di bawah kekuasaannya. Mereka akan juga mendirikan negara-negara kecil lain, seperti Negara Hindu Bali, Negara Kristen Manado, Negara Kristen Papua, dan lain-lain. Andai hal ini terjadi, maka hampir dapat dipastikan perang saudara akan terjadi dan pertumpahan darah tidak bisa terelakkan. Karena itulah, NKRI dan Pancasila wajib dipertahankan untuk menghindari konflik internal bangsa Indonesia.
Selanjutnya, secara substantif, lima sila dari Pancasila tak satu pun yang bertentangan ajaran Islam. Sila pertama seiring dengan konsep tauhid. Sila kedua sesuai dengan ajaran Islam tentang kemanusiaan dan keadilan. Sila ketiga merupakan bagian dari perintah Islam untuk melaksankan persatuan antarsesama manusia. Sila keempat sesuai dengan konsep syūrā. Sila kelima merupakan bagian dari konsep keadilan yang diajarkan oleh Islam.
Demikian pula halnya dengan NKRI sebagai nation state. Dari segi agama, negara telah memberikan hak semua bangsa yang berbeda-beda agamanya untuk mengamalkan ajaran-ajaran agamanya masing-masing. Bahkan, sebagai mayoritas, kita, umat Islam, telah diberi hak yang lebih oleh negara. Kita mempunyai Pengadilan Agama di seluruh wilayah, lembaga-lembaga pendidikan agama Islam yang lebih banyak, tempat-tempat peribadatan yang lebih banyak pula, majlis-majlis taklim dan pengajian yang berlimpah, dan manajemen haji yang ditangani oleh Pemerintah.
*Makalah disampaikan pada Webinar Pancasila Dunia Santri, Senin 15 Juni 2020.