Mereka memandang tradisi tidak sebagai sumber inspirasi dan arahan, tetapi justru sebagai peta harfiah untuk diikuti setiap perinciannya. Cetak biru sempuma untuk masyarakat Muslim ini, yang tertuang dalam kitab-kitab fikih, tidak dilihat sebagai sebuah respons terhadap suatu periode sosio-historis tertentu sebuah produk bersyarat yang disiapkan oleh para fukaha dalam sinaran dan nilai-nilai Islam.
Maka, kaum konservatif gagal membedakan antara kaidah-kaidah yang abadi, yang diwahyukan, dengan hukum-hukum dan lembaga-lembaga yang dikondisikan oleh sejarah yang merupakan produk dari penalaran. manusiawi para fukaha awal dan dari asimilasi pengaruh dan praktik-praktik asing.
Apalagi, dipegangnya tradisi dapat ditemukan dalam bentuk yang lebih tersembunyi di kalangan mereka yang pada prinsipnya mendukung ijtihad dan perubahan, tetapi ketika tertekan oleh perubahan-perubahan tertentu, sering menunjukkan mentalitas taklid, suatu kecenderungan untuk secara tak sengaja mengikuti praktik, lalu entah itu keluar dari keyakinan intelektual ataupun sekadar pragmatisme yang tunduk kepada budaya tradisionalis yang dominan.
Namun, kita harus menghindari pembedaan yang terlalu disederhanakan antara tradisionalis yang keras kepala dengan modernis yang serba-reformasi. Kecenderungan orang-orang yang lebih terikat pada tradisi untuk memandang pemahaman mereka tentang Islam sebagai pemahaman yang definitif tidak membuka perubahan yang sebenarnya.
Proses penjagaan dan penyajian suatu tradisi memerlukan penafsiran atas tradisi, dan penilaian menyangkut penerapannya pada masalah dan situasi tertentu. Pengkajian, penyebaran, dan penafsiran Islam oleh masing-masing ahli dan guru agama, maupun penerapannya, terjadi dalam konteks-konteks historis dan sosial yang berubah. Perbedaan sebenarnya yang ditemukan pada mazhab-mazhab dan kitab-kitab fikih mencerminkan pengaruh nalar, konteks budaya yang berbeda, dan perubahan-perubahan alam sejarah umat Islam.
Maka sekarang, kepercayaan, praktik-praktik, dan lembaga-lembaga tradisional ditangkap dengan makna yang baru, pun oleh mereka yang menganggap diri mereka sebagai mukmin yang paling ortodoks.
Tafsir Ayatullah Khomeini tentang pemerintahan Islam sebagai pemerintahan dikritik oleh kaum tradisionalis maupun modernis, oleh kalangan umum maupun ulama, yang tidak sependapat dengan kesimpulan-kesimpulannya. Penggambaran Iran tentang dirinya sebagai “Republik,” menonjol pada konstitusinya, dan banyak dari lembaganya (misalnya parlemen dan kementrian), jelas merupakan adaptasi dari lembaga-lembaga modern (Barat).