Fenomena akhir-akhir ini, banyak kalangan melakukan framing negatif terhadap tradisi pesantren. Kemudian, muncul pro-kontra, kontroversi, dan opini-opini yang saling berlawanan terutama di media sosial. Sebagian menggunakan akal dan data dalam menganalisa. Sebagian lagi asal bunyi (asbun) dan terbawa opini-opini buzzer, yang saya yakin ketika dimintai pertanggungjawaban terhadap opini mereka pun tak dapat menyentuh akar permasalahan. Dalam hal ini saya ibaratkan “santri yang ikut berfatwa tanpa paham kaidah ushuliyyah” atau “seorang yang bicara tentang laut, namun mencelupkan jarinya ke laut saja tidak pernah”.
Mereka yang melakukan framing negatif terhadap tradisi pesantren biasanya menggunakan dalil dari hadis Nabi. Misalnya ini: Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah seorang hamba menundukkan kepalanya kepada orang lain (dengan rasa hormat yang berlebihan), karena Allah saja yang berhak dipuji dan diagungkan.”

Hadis tersebut banyak dijadikan pisau untuk menyerang santri yang dinilai berlebihan dalam menghormati guru dan ilmu. Cercaan, celaan, penghinaan terhadap trilogi moral keilmuan Islam (kiai, santri, dan pondok pesantren) sudah cukup bagi santri untuk tidak ikut diam dalam mempertahankan identitasnya. Ketika santri dianggap berlebihan dalam menuntut hukum dengan pemboikotan Trans7 beberapa waktu lalu, di situlah justru alasan kenapa Allah menciptakan rasa marah kepada manusia.
Selain hadis Nabi tersebut yang digunakan untuk menghakimi tradisi pesantren (dilakukan misalnya oleh Guru Gembul, Heri Prass, dan figur terkenal lainnya), mereka juga berdalih bahwa Baginda Nabi, para sahabat, dan ulama terdahulu tidak pernah mengajarkan “menghormati guru” dengan bentuk bungkuk. Alasannya, bentuk bungkuk (bukan sujud) dan duduk di bawah guru bukan sebagai bentuk penghormatan.
Tapi benarkah klaim tersebut benar? Benarkah kami para santri tak memiliki dasar yang kuat? Benarkah kami para santri sudah saatnya mengevaluasi budaya pesantren dan menerima kritik.
Oleh karena itu, esai ini dibuat semacam replik yang ringkas untuk menjawab persoalan tersebut. Berikut dalil dan argumentasinya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-nisa:59, terkait kewajiban menghormati ulama:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنكُم
“Ulul amri” di sini menurut para ulama ialah ahlul ilmu, serta menurut sebagian mufasir lainnya ialah “pemerintah dan ulama” (tetap mencantumkan ulama).
Kemudian, Baginda Nabi tidak membatasi bentuk penghormatan itu sendiri kecuali jika itu berlebihan sampai menuhankannya atau menyentuh hal yang dilarang oleh syara’. Beliau bersabda: “لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق”. https://binbaz.org.sa/fatwas/
Perihal hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, dalam musnadnya merupakan hadis dhaif (yang tidak bisa dijadikan hujjah). Hal ini bisa dicek di musnad Ahmad no. 13044, hal. 340.
Dari sini kemudian mahallun niza’ (tempat perselisihan)nya diketahui. Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah mengklaim hadis tersebut hasan. Namun, Imam Baihaqi dan Imam Ahmad mengklaim dhoif.
Pengkajian terhadap hal ini membutuhkan diskusi khusus dan serius dalam menentukan keabsahan hadisnya (red: Ilal jarh wa at-ta’dil). Padahal kalau kita membuka syarah-nya, yaitu “Hasiyah As-Sanadi ala Ibn Majah”, dicsitu dijelaskan bahwa yang tidak diperbolehkan adalah selamanya dan tidak ada selamanya. Namun, ketika di situ terdapat bentuk kecintaan antarsesama, maka boleh. Terlebih jika itu kita lakukan terhadap guru yang siang-malam waktunya untuk mendidik.
Kalau menunduk dan ngesot, selain ini adalah budaya penghormatan, dua elemen ini juga tidak ditolak oleh nash karena yang dilarang hanya bentuk penuhanan. Dalam hal ini ulama salaf juga masih ikhtilaf dalam keabsahan hadis tersebut.
Sementara, soal mencium tangan, sesungguhnya merupakan ajaran yang justru diajarkan oleh para Sahabat. Dalam hadis, misalnya, dikisahkan para Sahabat juga mencium tangan baginda Nabi (diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 5217 dan Tirmidzi no. 3872).
Bahkan, ada pernyataan Sayidina Ali yang sangat masyhur yang mendorong untuk menghormati guru walaupun hanya mengajarinya satu huruf saja, beliau rela menjadi budak: https://www.mezan.net/sayed_ameli/books/mezanlhak/01/017.html#_ftn4
Kisah lain, suatu ketika Harun Ar-Rasyid, tokoh pemimpin pada dinasti Abbasiyah, pernah memarahi Al-Ashmai tatkala sang guru tidak suka kakinya dicucikan oleh anak khalifah. Tentu seorang khalifah besar saat itu tak mungkin tak punya dasar yang kuat, ataupun menganggap hal ini bentuk feodalisme yang menyimpang. (Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’aliim, 28. Dar as-Sudaniyyah Lil kutub)
Dalam suatu riwayat lain disebutkan, Muhammad bin Hamdun bin Rustam berkata: “Saya mendengar Muslim bin Hajjaj (penulis Sahih Muslim) berkata kepada Imam Bukhori” : “Biarkan aku mencium kedua kakimu, wahai guru dari para guru, pemimpin para ahli hadis, dan dokter pakar hadits dalam mengetahui cacatnya”. (Adz-Dzahabi, Siyar a’lam an-nubala, 12/432)
Diriwayatkan oleh Idris bin Abdul Karim, ringkasnya: ketika Salamah bin Idris datang ke majelisnya Khalaf, Khalaf mempersilakannya duduk di tempat terhormat, tetapi Salamah menolak dan berkata: “Aku tidak akan duduk kecuali di bawahmu, karena ini adalah hak dalam menuntut ilmu”. (Khotib al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rowi Wa Adab as-Sami’, 1/198).
Imam Syafi’i pun menguatkan dalam persoalan ini. Imam Syafi’i pernah berkata:
إن المعلم والطبيب كلاهما # لا ينصحان إذا هما لم يكرما
فاصبر لدائك إن أهنت طبيبه # واصبر لجهلك إن جفوت معلما
Artinya: “Seorang guru dan dokter, keduanya insan mulia. Takkan memberi nasihat jika tak dihargai. Bersabarlah atas sakitmu bila kau hina sang dokter. Dan bersabarlah atas bodohmu bila kau hina sang guru.”
Dari uraian tersebut, diperoleh gambaran bahwa tradisi penghormatan kepada guru seperti yang telah dipraktikkan di pesantren selama ini, juga dilakukan para ulama terdahulu dan memiliki dasar yang kuat.
