“Itu bahasa Korea, masak nggak tau. Artinya jinca itu sungguh-sungguh atau serius,” ujar seseorang pada temannya. Tanpa sengaja saya menangkap percakapan kawula muda di sebuah restoran elite pinggir kota. Di mana obrolan seru mereka ala drakor-drakor gitu loh.
Mendengarnya saya tertawa. Lucu sekali keseruan mereka mengundang tolehan banyak orang. Betapa vibes Korea tanpa sadar melekat, gaya tutur katanya pun diikuti. Di sisi lain saya mengaitkannya dengan fenomena bahasa daerah yang begitu memprihatinkan.
Sekarang coba tengok ke jagat maya. Hampir semua lini media massa membuka kelas belajar bahasa asing, misalnya Inggris, Korea, Jepang, atau Prancis. Sedangkan, akun belajar bahasa daerah persentasenya lebih kecil tiga kali lipat. Beberapa kali saya juga menangkap gerombolan anak muda di tempat umum berbincang dengan bahasa Korea. Ya, sedikit-sedikit mengerti. Ironisnya lagi, di kampung, saya mendapati anak SMA yang tak tahu artinya gangsal (lima). Cuma geleng-geleng kepala saya mendengarnya. Saya tak berniat melarang belajar bahasa asing loh ya. Lah wong saya sendiri kuliah di jurusan sastra Inggris.
Zaman now seolah menguasai bahasa asing adalah tiket sukses. Kawula muda berlomba meningkatkan soft skill bahasa asing. Tak hanya tergiur lewat karya-karya asing tersebut, tapi juga iming-iming poster beasiswa keluar negeri hanya dengan menguasai suatu bahasa. Memang menarik sih, kalau poster jalan-jalan ke pulau Jawa gratis dengan menguasai bahasa daerah belum pernah ya.
Inilah salah satu penyebab kritisnya bahasa daerah kita. Hampir 700 bahasa di Nusantara adalah wujud kekayaan budaya dan kearifan lokal. Sayangnya lebih dari 100 bahasa telah mengalami kepunahan. Derasnya arus globalisasi menurunkan minat anak muda pada bahasa lokal, maka saatnya kita peduli untuk revitalisasi bahasa melalui karya.
Karya merupakan metode yang efektif untuk menghidupkan kembali minat belajar bahasa. Ada apa dengan karya? Bukankah lingkungan lebih efektif untuk revitalisasi bahasa.