“Na, kenapa kamu kasih uang itu ke nenek tadi, sih?” tanya Rina setelah seorang nenek yang berpakaian tak layak pakai menghampiri mereka.
“Kasihan, tahu. Kita beli kembang apinya nanti saja, ya, kalau uang jajanku lebih lagi. Lagian, kasihan nenek tadi belum makan seharian katanya,” sahutnya santai.
Mendengar jawaban dari sahabatnya itu, Rina bersungut-sungut. Bagaimana tidak? Rencana malam ini bermain kembang api bersama lenyap sudah. Tersisa pecahan-pecahan angan yang tercecer tak bisa dikembalikan lagi. Langkahnya semakin cepat di depan menjauhi Husna.
“Rina! Tunggu aku, dong!” teriak Husna seraya berusaha menyejajarkan langkah dengan Rina.
“Aku marah! Masak uang yang kita tabung selama ini buat beli kembang api bersama dengan ringannya kamu kasih ke orang lain.”
Rina berhenti dan menjelaskan isi hatinya kepada Husna. “Owalah gara-gara tadi itu, to, kamu merajuk. Tenang saja Rin, kan, kamu dengar sendiri kemarin Ustaz Zikri bilang kalau kita bersedekah itu rezeki kita tidak akan berkurang. Bahkan, akan bertambah dan bertambah.”
Husna dengan sumringah menjelaskan kembali apa yang didapat kemarin saat mengaji di masjid dengan sahabatnya. Dia sangat meyakini hal itu. Sebab, selain menjadi guru ngaji, Ustaz Zikri merupakan ustaz idola Husna. Setiap yang keluar dari mulut ustaz itu pasti Husna percaya dan diamalkannya.
Tanpa membuang kata lagi, Rina yang semakin geram saat itu kembali meninggalkan Husna. Dia tak mau emosinya semakin menjadi kepada sahabatnya itu. Suara pekikan Husna yang memanggil namanya tak dihiraukan. Setelah sampai rumah pun, Rina masuk tanpa mengucap salam dan menyapa ibunya yang berada di ruang tamu saat itu. Gadis kecil berusia delapan tahun itu segera masuk ke kamarnya.
“Halah bertambah apanya? Nyatanya malam ini enggak bisa main kembang api, berarti berkurang, dong.” Rina bermonolog dengan kondisi muka ditutup dengan bantal.
Dari perkara itu persahabatan mereka menjadi renggang. Rina semakin menjauh dari Husna. Hingga lulus dan melanjutkan ke sekolah yang berbeda.