Riwayat Halimah

99 views

Aku bertemu Halimah sore ini. Rona wajah dan bentuk pipinya masih sama, tidak ada yang berbeda. Saling bertukar cerita, ia menemaniku berjalan menuju masjid di ujung jalan. Sepanjang jalan, wajahnya selalu tersenyum saat kuceritakan kisah-kisah Siti Khadijah.

Cerita-cerita itu sengaja aku persiapkan sebagai ungkapan rasa terima kasih dan rasa sayang. Lambat laun malam pun datang dengan meganya, orang-orang makin sibuk berlalu-lalang, dan di antara mereka datanglah cucuku menjemput tangan yang ringkih ini, “Ayo kita pulang, Nek.”

Advertisements

***

Perkenalan kami bermula dari narasi cepat malam itu. Aku tertunduk lesu dan letih sekali. Saat menunduk, halusnya angin berembus, membawa pikiranku kembali saat bersekolah di ujung pulau Jawa. Tempat itu telah membentuk jiwa santriku yang luhur, namun belum sempat terlalu lama kenangan itu diputar, kupingku kaget bukan main. Belasaan motor mengomel di jalan sempit penuh kios dari arah selatan jalan.

Aku mengamati jalanan itu yang semakin malam menjadi pasar dadakan. Semuanya begitu sesak dengan orang-orang yang mondar-mandir. Di antara pejalan tersebut, segerombolan bocah menghampiri para pejalan kaki sambil menawarkan tisu. Terkadang salah satu dari mata mereka tertaut dengan mataku, namun enggan menghampiriku yang lelah ini.

Masih memperhatikan sekitar, mataku perih dengan asap si penjual sate. Asapnya membumbung tinggi membungkus langit malam. Alhasil baunya mengejar indra penciuman orang-orang malam itu. Tidak berapa lama, asap itu bercampur dengan asap lain. Makin pekat, asap itu membuat sesak dan perih di mata. Orang-orang mulai menjauh karena muncul percikan api dari bilik-bilik warung yang padat.

Sontak saja kejadian itu membuat orang-orang panik dan berlarian, bocah-bocah berteriak histeris dan ketakutan. Api yang semula kecil terus  membesar, warna merahnya cepat meloncat dari kios ke kios. Tertahan sejenak, tiba-tiba suara letusan memukul udara, bergema ke seluruh penjuru. Beberapa pengendara panik, melesat melarikan diri.

Menoleh ke arah jalan, aku melihat sesosok tubuh terempas, “Astaga… itu bocah yang aku lihat barusan.” Tubuh kecilnya menggelepar di depan mataku, dengan sekantung tisu yang berserakan di tengah jalan. Anak itu tergeletak, menelungkup kaku, pipinya bulat membiru, dan bulir air perlahan jatuh dari mata mungil.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan