Sampai Kapan Kita Diamkan Kekerasan Seksual di Pesantren?

Berapa banyak kasus kekerasan seksual di pesantren yang benar-benar tercatat? Angka resmi memang ada, laporan demi laporan dikumpulkan, tetapi bisakah kita percaya bahwa itu cerminan seluruh kenyataan?

Dugaan kuatnya, apa yang tampak di permukaan hanyalah seujung kecil dari gunung es besar yang tenggelam dalam diam. Karena untuk satu kasus yang berani diungkap, entah berapa puluh atau ratus lain memilih terkubur bersama rasa malu, takut, dan ancaman yang melingkupinya.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mencatat 573 kasus kekerasan di satuan pendidikan sepanjang 2024. Dari angka itu, 36 persen terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama, dengan 20 persen di pesantren, 16 persen di madrasah, dan 42 persen kasus berkaitan langsung dengan kekerasan seksual.

Catatan Komnas Perempuan untuk 2025 juga menggemakan kenyataan serupa. Sebanyak 445 ribu kasus kekerasan berbasis gender, hampir 27 persen di antaranya adalah kekerasan seksual. Angka-angka itu membuat bulu kuduk berdiri. Tetapi justru karena begitu besar, ia menegaskan sesuatu yang lebih kelam, bahwa masih ada banyak cerita yang belum pernah sampai ke meja pencatat, banyak tubuh yang terluka tetapi tidak pernah dihitung.

Kasus terbaru di sebuah pesantren di Ciamis memperlihatkan pola yang berulang. Ada korban, ada pelaku, ada kabar yang mencuat. Tetapi kemudian, seperti biasa, suasana berusaha diredam.

Seolah-olah ini hanya gangguan kecil, riak yang tidak perlu diperbesar. Nama baik pesantren lebih diutamakan daripada penderitaan korban. Konflik ditutup dengan narasi jangan menyebarkan aib, jangan cemarkan marwah agama. Hasilnya kebenaran diremukkan oleh kepentingan citra.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena di pesantren, relasi kuasa terbangun sangat timpang. Santri diajari sejak awal untuk hormat total kepada kiai, ustaz, dan guru. Takzim menjadi norma bahwa patuh bukan hanya dalam hal ilmu, tapi juga dalam segala tingkah laku.

Dalam atmosfer ini, guru ditempatkan di posisi nyaris suci, sementara santri dipandang sekadar penerima berkah. Relasi yang berat sebelah inilah yang membuka ruang bagi penyalahgunaan. Sentuhan bisa dinamai sebagai kasih sayang, rabaan bisa disebut perhatian, bahkan ciuman bisa dibungkus dengan istilah barokah. Bahasa agama dipelintir untuk menutupi kejahatan.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan