Sanggar Pelakon kembali hadir di panggung seni pertunjukan Indonesia setelah vakum selama lebih dari satu dekade. Sanggar yang didirikan pasangan seniman Asrul Sani dan Mutiara Sani ini mementaskan lakon Nabila pada 19 dan 20 Desember 2025 di Gedung Kesenian Jakarta.

Kembalinya Sanggar Pelakon menandai bab penting dalam sejarah teater dan televisi Indonesia. Sanggar ini lahir dari kecintaan Asrul Sani—penyair Angkatan ’45, budayawan, sutradara, penulis skenario, sekaligus tokoh publik—terhadap dunia seni dan kebudayaan. Sepanjang hidupnya, Asrul Sani melahirkan karya-karya monumental, antara lain Lewat Djam Malam, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Pagar Kawat Berduri, Apa yang Kau Cari Palupi, Di Bawah Lindungan Ka’bah, hingga Nagabonar.

Mutiara Sani, istri sekaligus mitra artistiknya, dikenal sebagai pemain film dan teater yang telah berkiprah sejak era 1960-an di bawah bimbingan almarhum Sotopo HS. Dari tangan keduanya, Sanggar Pelakon tumbuh sebagai ruang kreatif yang pada awalnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tayangan berkualitas di TVRI.
Pada dekade 1980–1990-an, Sanggar Pelakon melahirkan sejumlah karya televisi penting, seperti Mahkamah (1984), Monumen, Apa yang Kau Cari Adinda, Gerhana Terpanjang, Derai-Derai Cemara, Siti Nurbaya, dan Sengsara Membawa Nikmat. Di jalur teater, sanggar ini juga memproduksi lakon-lakon berpengaruh, antara lain Mahkamah, Husni Thamrin, Sang Ayah (bekerja sama dengan Pertamina), serta Yerma.
Perjalanan Sanggar Pelakon sempat terhenti ketika Asrul Sani jatuh sakit hingga wafat pada 11 Januari 2004. Sanggar ini masih sempat menggelar pementasan Mahkamah pada 2007 dan Husni Thamrin pada 2009, sebelum akhirnya vakum selama 15 tahun.
Kebangkitan Sanggar Pelakon kali ini membawa makna khusus melalui pementasan Nabila, naskah yang ditulis Asrul Sani menjelang akhir hayatnya. Lakon ini dipandang sebagai “suara terakhir” Asrul Sani tentang perempuan Indonesia—tentang kesetiaan, pengorbanan, dan keteguhan dalam menjaga martabat keluarga.
Nabila merekam kekaguman Asrul Sani terhadap sosok perempuan: kesetiaan yang sunyi, pengorbanan yang kerap tak terlihat, serta harga diri yang dijaga dalam ruang domestik. Naskah ini baru diwujudkan di panggung setelah rencana pementasan sebelumnya terhenti akibat wafatnya sang pengarang.
Secara dramatik, Nabila mengisahkan kehidupan rumah tangga Nabila dan Saladin, seorang pengacara yang kemudian diangkat menjadi Direktur Bank Kesejahteraan. Konflik berkembang melalui rahasia masa lalu, utang yang disembunyikan, ancaman, serta pertarungan batin antara cinta, kejujuran, dan kehormatan. Ketegangan memuncak ketika pengorbanan Nabila justru berujung pada keterlukaan mendalam, hingga ia memilih meninggalkan rumah dengan kalimat perpisahan yang lirih sekaligus menentukan.
Pementasan ini disutradarai oleh Jose Rizal Manua, dengan Mutiara Sani sebagai pimpinan produksi dan Syauki Sani sebagai pelaksana produksi. Lakon Nabila diperankan oleh jajaran aktor lintas generasi, antara lain Varissa Camelia (Nabila), Hendrayan (Saladin), Ayez Kassar (Dr. Rengga), Mutiara Sani (Bi Suri), Mulela Gayo (Suminta), Ayu B. Nurdi (Marta), dan Masyael Alanagia (Atika).
Selain Nabila, Sanggar Pelakon juga menyiapkan rencana pementasan lanjutan, antara lain Husni Thamrin, Antara Hari Kemarin dan Hari Esok, Istri Pilihan, Orang-Orang Kerasukan, serta Tumbuh Bunga di Sela Batu. Rangkaian pementasan ini diharapkan dapat memperkaya khazanah seni pertunjukan nasional sekaligus mempererat hubungan antara seniman dan masyarakat.
Pementasan Nabila turut disaksikan sejumlah sastrawan dan pegiat seni terkemuka Indonesia, di antaranya Taufiq Ismail, Prof. Riris K. Toha Sarumpaet, M.Sc., Ph.D., Jamal D. Rahman, Zak Sorga, Nanang R. Supriyatin, serta keluarga besar Majalah Sastra Horison.
Dengan kembalinya Sanggar Pelakon ke panggung, Nabila tidak sekadar menjadi pertunjukan teater, melainkan juga penanda sejarah—sebuah penghormatan terhadap warisan artistik Asrul Sani dan suara kemanusiaan yang terus bergema melampaui waktu.
