Di sanggar teater pinggiran kota yang telah lama terbengkalai suasana tampak sepi. Tak ada lagi riuh penonton menyoraki.
Dulu, di sanggar ini sering diadakan acara dadakan. Biasanya malam minggu. Ada pentas ketoprak, musikalisasi dan pembacaan puisi, atau apa saja untuk sekadar berekspresi bagi yang ingin menunjukkan bakat seninya.
Di sekelilingnya ada warung-warung kopi. Dulu, sanggar ini sangat ramai dikunjungi orang. Oleh anak-anak, remaja, atau orang tua, yang ingin sekadar menikmati malam.
Kini, sanggar itu sepi. Tak lagi ramai. Warung kopi masih ada, namun pengunjungnya tak lebih dari anak kecil dan anak muda yang nebeng wifi, mabar gem onlen, klub sepeda motor amatiran, atau muda-mudi yang ingin mencari gelap-gelapan.
Berkatalah pemilik sanggar kepada anaknya, “Dulu di sini bapak berpentas dengan kawan-kawan bapak. Menyuarakan apa saja yang bapak rasakan. Suara bapak seperti tak bisa berhenti bergema. Tetap membara, walau coba dibungkam. Karenanya, Bapak dan kawan-kawan sanggar dianggap berbahaya, dengan puisi yang terkesan melawan pemerintahan dulu.”
Anaknya yang masih muda, terhenyak. “Apakah Bapak dulu pernah dipenjara gara-gara berpuisi atau berpentas di sanggar ini?”
Bapaknya tersenyum, “Pernah! Sekali, dua kali, atau tiga kali. Bapak lupa. Tapi, bapak dan kawan-kawan tidak berhenti. Idealis Bapak pada waktu itu, melawan tirani dengan puisi, lagu, drama, apa pun. Pokoknya bersuara.”
Tiba-tiba Bapak berdiri dari duduknya, keluar sanggar dan berpuisi lantang, sehingga pengunjung sekitar sanggar terkejut.
“Kebenaran akan terus hidup sekalipun kau lenyapkan,
kebenaran takkan mati,
aku akan tetap ada dan berlipat ganda
siapkan barisan dan siap tuk melawan
akan terus memburumu seperti kutukan
aku memang bukan artis pembuat berita,
tapi aku memang selalu kabar buruk buat penguasa