Plot Twist : “Suatu malam, santri cungkring bernama Ridho mengerjakan salat tahajud. Ketika selesai dia mulai membaca buku berjudul Saut Kecil Bicara dengan Tuhan karya Saut Situmorang.
Keesokan paginya, ia mulai menulis di secarik kertas lusuh berjudul ‘Santri Cungkring Bercanda dengan Tuhan.”
Di tengah sebuah pesantren, tinggallah seorang santri cungkring bernama Ridho. Kenapa dipanggil cungkring? Karena sedari awal mondok sampai enam tahun, badannya tak kunjung berubah, masih kecil dan kurus.
Ia hidup di pesantren yang tak cukup bagus, pesantren yang berada jauh dari perkotaan. Habit sehari-harinya hanya dihabiskan untuk menggembala sapi di sore hari, mengaji kitab kuning di waktu pagi, dan ibadah tahajud di malam hari.

Pagi-pagi sekali ia bangun untuk salat subuh, sambil mendengarkan ayam jago berkokok guna membangunkan seluruh masyarakat untuk bertemu dengan Tuhannya.
Setelah selesai salat ia duduk di gubuk pesantren sambil menyeruput segelas kopi arabica dan mengisap rokok djarum coklat. Ia memandangi langit pagi yang indah dan menggantungkan pertanyaannya ke langit.
“Ya Tuhan, aku tahu Engkau Mahakuasa, apa bisa engkau memberikan aku rokok tanpa melintingnya dan menyeruput kopi tanpa menyeduhnya?”tanyanya sambil menyeruput kopinya yang amat pahit rasanya.
Sepoi-sepoi angin nan sejuk datang menghampirinya, seolah menandakan “Ini adalah Jawaban Tuhan atas pertanyaanku tadi.”
Ia mempertanyakan hal tersebut karena terinspirasi dari cerita Imam Syafi’i dengan gurunya (Imam Malik) yang memperdebatkan antara ikhtiar dulu atau tawakal dulu. Nah, saya sedang melakukan hal yang dikerjakan Imam Syafi’i.
Suatu hari, temannya yang bernama Rizki bertanya kepadanya.
“Kenapa agama memerintahkan kita mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuan kita?” tanya temannya.
“Tuhan tahu kita itu lemah, banget malah. Makanya Dia nyuruh apapun sesuai kemampuan kita, contoh saja rokok dan kopi ini,” jawab Ridho.
“Untung saja, Tuhan tidak menetapkan syariat pembuatan rokok harus berpuluh-puluh slop seharinya, dan memanen kopi dalam sehari harus satu kuintal. Rubuhlah tubuh ini,” imbuhnya.
***
Kebetulan, kiai pondok mendengar dialog antara keduanya. Kiai hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengambil posisi istirahat di tempat, seraya berkata lirih.
“Santri cungkring itu, bercandanya saja tersimpan ilmu tingkat tinggi, apalagi jika serius. Seperti ceramah yang tak sopan, tetapi seakan tulus menyampaikan ke para jemaah,” ucap kiai tersebut dengan perasaan yang campur aduk.
Malam hari pun datang menemani kesendiriannya. Ridho mulai mengerjakan rutinitas seperti biasa, salat tahajud. Tapi ada hal yang menarik darinya, pas malam itu ia salat tanpa wudhu. Selesai salat ia berdialog dengan Tuhan.
“Ya Tuhan, saya salat dalam keadaan tanpa wudhu. Apakah sah salatku?”ucapannya ketika doa.
Lalu ia berpikir, sepertinya malaikat pun bingung mencatatnya. “Malaikat mana yang akan mencatatku? Rakib atau Atid?”
Jika dicatat oleh Rakib berarti salatku sah dan diterima. Jika dicatat Atid maka salatku tidak sah dan tidak diterima. Tapi, menurutku jika dicatat oleh Atid, maka lembaga langit tidak adil.
“Jika karena lupa berwudhu tidak diterima salatku, maka sifat manusia (lupa) harus dihilangkan,” candanya.
Suatu pagi ia membaca buku karya Saut Situmorang Saut Kecil Bercanda dengan Tuhan. Belum dibuka pun buku itu, Ridho sudah tertawa terbahak-bahak sebab melihat judul bukunya.
“Ha-ha-ha, baru kulihat cover bukunya, judulnya sudah membuatku tertawa, memang aneh si Saut ini.”
***
Setelah membaca buku itu, aku belajar bahwasannya bercanda dengan Tuhan itu bukan berarti menghinanya dan merendahkannya, melainkan menaruh harapan tinggi dan membongkar segala absurditas dalam hidup.
Hal inikah yang menyebabkan orang buta terkait pengetahuan yang irasional atau metafisika? Kenapa hal itu terjadi, karena tidak ada seorang pun yang berani membicarakan hal tersebut.
Hingga pada waktunya ia balik ke kampungnya, ia mulai menyadari bahwa iman tidak selalu diajarkan lewat kitab kuning, ceramah kiai, dan ayat-ayat suci. Terkadang, kita harus bercanda dengan fondasi-fondasi dasar, agar menjadi tesis yang menarik untuk disampaikan ke otak masyarakat awam.