Membahas berkah atau disebut juga barokah tidak lepas dari lingkungan pesantren. Bahkan tujuan utama santri di samping mencari ilmu ya ngalap barokah itu sendiri. Maka sepandai, sehebat, sesalih, dan sealim apapun, santri tidak akan berkutik kalau mendapat ancaman, hati-hati tidak barokah. Hal inilah yang menjadi nilai lebih bagi pesantren dibanding dengan institusi pendidikan lain.
Berkah diartikan sebagai ‘ziyadatul khoir‘ alias bertambahnya kebaikan. Efek darinya bisa dirasakan oleh diri sendiri maupun berimbas pada orang lain. Persis yang dialami oleh rekan saya waktu di pesantren, namanya Sindhu. Ia mualaf sejak SMP, kemudian di tahun 2020 masuk di Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo sambil sekolah SMK. Kita saling kenal semenjak dia khidmah di bidang media milik pondok. Kebetulan saat itu saya pimpinannya.
Pergolakan Sindhu dengan perkara berkah dimulai ketika selepas rapat tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu di hadapan saya. Usut punya usut, rupanya santri asal Lampung ini disuruh untuk boyong oleh orangtuanya.
“Kak gimana saya disuruh boyong sama orangtua, disuruh pulang, kuliah di rumah, tapi aku belum siap,” jelasnya kala itu dengan berurai air mata. Namun, Sindhu tetap ingin khidmah bersama kami, di tim “Elmahrusy”, media asuhan Gus Reza. Tentu ia juga ingin melanjutkan madrasahnya juga.
“Lho kok tiba-tiba begitu, ada apa?” tanya saya.
“Kata ibu, di pondok skill saya sulit berkembang. Ibu inginnya saya kuliah di luar gitu lho kak. Di rumah juga sudah disedikan alat-alat yang menunjang untuk kebutuhan media,” jawabnya.
“Lho kamu kan di pondok juga berkecimpung di dunia media, apa bedanya?”
“Iya, kak, aku sudah bilang, tapi ibu tetap tidak yakin, gimana kak?” dia tambah merintih sambil sesekali menyeka air mata. Kemudian minta tolong kepada saya untuk memberi argumen kepada ibunya, mengenai khidmahnya di media pesantren dan madrasah.