Lazimnya di lembaga pendidikan pada umumnya, di pondok pesantren pun, yang nota bene sebagai lembaga pendidikan agama, juga tak steril dari adanya santri nakal. Tapi, setiap pesantren, juga kiainya, selalu punya keunikannya sendiri, termasuk dalam hal menangani santri nakal.
Inilah cerita lisan yang berkembang, dan disebut-sebut bersumber dari guyonan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), yang disandarkan dari kisah nyata:
Di salah satu pondok pesantren besar dan berpengaruh di Jawa, saat itu ada salah seorang santri yang nakal, sangat nakal. Jarang ikut mengaji dan salat berjamaah. Suka keluyuran keluar pondok. Malah, suka mengintip pondok putri, mengintip santri-santri perempuan dengan berbagai cara.
Sudah berkali-kali santri nakal ini diberi peringatan oleh bagian keamanan pondok, tapi tidak mempan juga. Pernah diberi hukuman alias takzir, tak berubah juga kelakuannya. Bahkan, kenakalannya sudah mulai membawa pengaruh buruk pada santri-santri lain.
Kehabisan kesabaran, pihak keamanan pondok akhirnya berniat “memulangkan” santri nakal tersebut kepada orangtuanya. Ini merupakan hukum terberat bagi seorang santri: diusir dari pondok.
Sebelum “memulangkan” santri nakal ini, pihak keamanan pondok sowan kepada kiai untuk meminta izin. Jika kiai memberi lampu hijau, saat itu juga si santri nakal akan diusir dari pondok.
Tapi apa jawaban kiai setelah menerima pengaduan pihak keamanan pondok?
“Loh, orangtua, kan, sudah memasrahkan sepenuhnya ke pondok, agar anak-anak ini menjadi baik. Ya, dari kurang baik menjadi baik. Kalau ada santri yang nakal lalu dikembalikan kepada orangtuanya, lalu apa fungsinya pesantren ini? Tugas kita menjadikan mereka ini, santri-santri ini, menjadi orang baik,” kata kiai.
Pihak keamanan pondok bingung dan kaget. “Tapi segala cara sudah kami lakukan Pak Kiai, dan anak ini malah menjadi-jadi kenakalannya. Kami tidak tahu lagi harus bagaimana….”
“Begini saja,” sahut Pak Kiai, “Suruh dia tinggal di ndalem, ada satu kamar kosong itu. Malah kalau masih mau ngintip santri putri lebih dekat, lebih gampang.”
Keamanan pondok, tapi perintah kiai harus dijalankan. Maka, sejak hari itu, santri nakal itu tinggal di ndalem, di rumah kiai, di kamar yang lebih dekat dengan pondok putri.
“Sudah, sekarang kamu tinggal sama saya saja, itu kamarmu,” kata kiai tersenyum sambil menunjukkan kamar kepada santri nakal itu. “Terserah kamu mau bagaimana, bebas saja, yang pentinggal kamarmu di sini. Malah enak, kan, lebih dekat dengan pondok putri….”
Kiai terus tersenyum, tapi santri nakal itu menjadi kikuk bukan kepalang.
Rupanya, sejak tinggal rumah kiai, santri nakal ini mulai berubah perilakunya. Mulanya mulai sering terlihat ikut salat berjamah, juga mengaji. Lama-lama rutin, dan rajin. Dan, yang pasti, sudah tidak terlihat sering keluar pondok untuk keluyuran. Sesekali, kiai bertanya dan menggoda, “Bagaimana, masih bisa, kan, ngintip santri putri dari sini?” yang ditanya cuma bisa menunduk malu.
Genap tiga bulan tinggal di rumah kiai, perilaku santri nakal ini berubah total. Teman-temannya, terutama keamanan pondok, dibuatnya terheran-heran. Ia telah berubah total dari seorang santri nakal menjadi santri yang tekun mengaji, rajin beribadah. Kelak, sang santri ini menjadi seorang kiai dengan pondok pesantren yang besar.
Dengan kearifannya, kiai tadi telah mengubah santri nakal menjadi pewarisnya.