Satu Putaran atau Berputar-putar

37 views

Coblosan pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tinggal menghitung hari. Pada 14 Fabruari  nanti, melalui quick count atau merode hitung cepat yang tingkat presisinya begitu tinggi, kita akan tahu perolehan suara masing-masing pasangan calon presiden/wakil presiden. Saat itu, kita juga sudah bisa tahu pasangan calon presiden/wakil presiden yang tersingkir, namun belum bisa memastikan siapa pemenangnya.

Kenapa? Meskipun ada gemuruh ambisi untuk memenangi pemilihan presiden/wakil presiden dalam satu putaran, namun indikator-indikator yang mudah dicerna akal sehat menunjukkan hal yang berbeda. Yang paling mungkin, pemilihan presiden/wakil presiden akan berlangsung dalam dua putaran. Setidaknya, hal itu bisa dilihat dari hasil-hasil survei dari banyak lembaga survei kredibel dan berbagai fenomena dari dinamika politik yang terjadi. Belum lagi persyaratan untuk bisa menang dalam satu putaran yang relatif berat.

Advertisements

Sampai saat ini, sekitar dua pekan menjelang coblosan, berdasarkan hasil-hasil survei yang sudah dirilis berbagai lembaga survei, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memang selalu diunggulkan. Pasangan ini selalu merajai survei. Namun, perolehan suaranya belum menyentuh angka lebih dari 50 persen plus 20 persen di lebih dari separo jumlah provinsi yang ada.

Sebagai contoh, berdasarkan beberapa hasil survei yang digelar antara akhir Desember 2023 hingga medio Januari 2024, meskipun teratas, perolehan Prabowo-Gibran belum menyentuh angka 50 persen. Berdasarkan survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), misalnya, pasangan Prabowo-Gibran memperoleh suara 49,8 persen. Kemudian, survei Charta Politika menyebut pasangan ini memperoleh suara 42,2 persen, lalu berturut-turut Poltracking 46,7 persen, LSI Denny JA 46,6 persen, Indikator Politik Indonesia 45 persen, dan Kompas 39,3 persen.

Memang ada 1-2 lembaga survei yang menyebut pasangan ini perolehan suaranya sudah menyentuh angka 50 persen. Namun, hasil survei dari mayoritas lembaga survei kredibel belum ada yang bisa “meyakinkan” bahwa pemilihan presiden/wakil presiden bisa berlangsung dalam satu putaran. Yang harus menjadi catatan penting dalam membaca hasil-hasil survei tersebut adalah tingginya angka undecided voters atau responden yang belum menentukan pilihan. Angkanya di kisaran 25-30 persen. Inilah yang akan diperebutkan baik oleh pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo-Gibran, maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD hingga detik-detik akhir.

Namun, jika dilihat dari trennya berdasarkan hasil-hasil survei sebelumnya, meskipun selalu merajai hasil survei, besar kemungkinan perolehan suara pasangan Prabowo-Gibran sudah “mentok” di sana, dan sulit menembus persyaratan menang dalam satu putaran. Apalagi, jika dibandingkan dengan postur koalisi pendukungnya dan “endorsement” dari Presiden Joko Widodo alias Jokowi, data survei perolehan suara pasangan ini jauh di bawah ekspektasi. Seharusnya, jika kekuatan Prabowo dan Jokowi pada Pemilihan Presiden 2019 digabungkan, lalu dikurangi dukungan suara dari PDI Perjuangan, di atas kertas pasangan Prabowo-Gibran akan menang mutlak dalam satu putaran. Namun, nyatanya postur koalisi pendukung dan “endorsement” dari Jokowi yang begitu besar tak tergambar dalam hasil-hasil survei.

Dengan tren tersebut, yang lebih mungkin pemilihan presiden akan berlanjut ke putaran kedua —meskipun tetap ada peluang kecil untuk satu putaran. Karena itu, pada 14 Febaruari nanti, berdasarkan hasil quick count, kemungkinan besar kita baru bisa memastikan siapa yang tersingkir dan siapa yang maju ke putaran kedua. Dan, siapa pun yang maju ke putaran kedua, masing-masing memiliki kans yang sama untuk menjadi pemenang dan peta dukungan politik akan sangat dinamis. Tak selamanya yang unggul di putaran pertama menjadi pemenang di putaran kedua. Contoh terdekatnya adalah apa yang terjadi pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017.

Lalu kenapa ada yang “ngotot” agar pemilihan presiden satu putaran saja? Ada dua kemungkinan. Pertama, untuk membangun “kepercayaan diri” para pendukung masing-masing kontestan. Memang, jika memungkinkan, tiap kontestan berharap bisa menang dalam satu putaran. Baik dari pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo-Gibran, maupun Ganjar Pranowo-Mahfud MD memang sama-sama mendaku bisa menang satu putaran. Namun, dari narasi-narasi yang berbedar di media, ajakan untuk menyelesaikan pemilihan presiden hanya dalam satu putaran paling kuat datang dari kubu Prabowo-Gibran.

Kedua, mempengaruhi psikologi massa. Hasil survei dan posisi “di atas angin” memang dapat dimanfaatkan sebagai strategi kampanye untuk mempengaruhi psikologi massa, terutama bagi kalangan undecided voters yang jumlahnya masih sangat besar. Sebab, per teori, orang akan cenderung memilih menjadi bagian dari kerumunan yang lebih besar. Seorang individu akan cenderung lebih memilih menjadi bagian dari siapa yang dianggap akan keluar sebagai pemenang. Buat apa memilih mereka yang akan kalah atau tak diunggulkan? Teori itulah yang dipakai oleh kubu yang ngotot menang satu putaran.

Dengan demikian, sejatinya seruan atau ajakan dari kubu mana pun untuk menyelesaikan pemilihan presiden satu putaran bisa dimaknai dalam dua level. Pertama, semata-mata hanya merupakann strategi kampanye untuk mempengaruhi suara pemilih. Tidak ada hubungannya dengan penghematan anggaran atau untuk menjaga kedamaian dan keharmonisan di akar rumput. Toh, negara juga sudah menganggarkan skenario untuk dua putaran sebesar Rp 76,6 triliun. Perputaran anggaran sebesar Rp 76,6 triliun tersebut justru akan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat bawah makin menggeliat. Selain itu, masyarakat juga sudah terbiasa dengan pelaksanaan pemilu dua putaran atau yang berputar-putar. Dalam pengertian, dari pemilu ke pemilu, hasilnya distribusi kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi tetap berputar-putar di lingkaran elite.

Kedua, jika bukan dari bagian strategi kampanye, seruan atau ajakan untuk menyelesaikan pemilihan presiden satu putaran bisa jadi merupakan bagian dari strategi untuk menutupi atau membungkus kecurangan. Sebab, nafsu dan ambisi yang mengalahkan realitas berpotensi mendorong orang untuk menempuh segala cara, termasuk menabrak rambu-rambu hukum dan etika dalam berdemokrasi.

Jadi, satu putaran atau dua putaran, semua diakomodasi dan sah dalam sistem demokrasi. Suara rakyatlah penentunya, bukan kehendak kaum elite.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan