“Sekejap saja bersanding bersama gelora remaja belaian pinangan getarkan lara di dada, sore melintas di luar jendela membawa ragaku ke dalam dekapan senyap perkawinan.”
—(Kutipan puisi “Pelamin Kematian”, Mahwi Air Tawar)
Kutipan puisi “Pelamin Kematian” mengingatkanku pada cerita perjodohan Yulia dan Indri; tentang nasib perjodohan yang mereka alami. Aku juga mengalami hal yang sama. Karena tak kunjung menikah, orang tuaku menjodohkanku. Namun, kisah perjodohanku biasa saja, karena kehidupanku baik-baik saja.

Yulia dipanggil “Nyai”, sekalipun ia baru seumuran denganku. Di desaku, anak seorang kiai akan mendapat gelar atau panggilan khusus untuk menghormatinya. Keturunannya akan dituakan, dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Yulia selalu lari ke kamarku—tempat santri istirahat—dan bercerita banyak hal. Apa saja yang terjadi pada dirinya sehingga dia ingin sekali bertukar tempat denganku?
Aku, yang anak seorang petani, tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Yulia. Pastilah menyenangkan karena dia akan melanjutkan ke perguruan tinggi di Surabaya. Aku ingin sekali melanjutkan kuliah, sedangkan orang tuaku selalu takut dengan kehidupan metropolitan yang bebas, semuanya serba mahal, dan tampak mengerikan setelah peristiwa yang dialami oleh Indri, anak seorang guru.
Indri melanjutkan ke perguruan tinggi. Pada semester lima, Indri hamil sebelum menikah. Namun, orang-orang desa hanya mampu bergunjing di belakang. Satu bulan kemudian, rumor tentang kehamilannya berlalu begitu saja. Indri setiap pagi pergi ke pasar dengan perut buncit, sampai anaknya lahir dan Indri menjadi seorang guru. Cerita masa lalunya seperti ditelan badai setelah semuanya berlalu, kehidupannya kembali seperti sebelumnya.
Sedangkan, Yulia, ketika hamil waktu kuliah, orang-orang desa menghujatnya, menghina keluarga pak kiai yang dulu dihormati. Dengan terang-terangan mereka melontarkan kalimat-kalimat kotor dan mengusir Yulia dari desa. Bu Nyai tak lagi diperkenankan mengisi pengajian jemaah ibu-ibu. Mereka mengatakan tidak akan datang ke acara rutinan. Orang-orang desa menyalahkan pak kiai karena tidak becus mendidik anak, bagaimana bisa mengayomi masyarakat? Kepergian Yulia tidak membuat orang-orang berhenti mengulang cerita yang sama tentang kehidupan metropolitan dan seorang keturunan kiai yang tidak boleh cacat di mata masyarakat.