DI TEPI LORONG
Di tepi lorong waktu membeku
aku tercengang sejenak
sekadar mengumpulkan kata.
Ada yang telantar
sedang mengasah resah
ia tidur beralaskan mimpi
ia nyenyak meredam dendam
dalam dadanya
suara politik belum juga raib.
Napas berembus pelan
aku bayangkan
dari celah peradaban
betapa kita murung
membiarkan keadaan itu
berulang ulang
menembus angka takdir.
Kutub Yogyakarta, 2024.
PENANGGA BULAN
Bulan bergerak di atas kepala
mereka sebut penanggalan
sebagai ritus roh purba.
Bulan merendah
satu sampai sepuluh
bulan menengah
sebelas sampai dua puluh
bulan meninggi
dua satu sampai tiga puluh.
Hingga mereka lupa
pada bentuk sebuah kalender
dan awan yang bersirip
dan gema yang berjatuhan
dan bintang yang meredup.
Kutub Yogyakarta, 2024.
SEBELUM LAMPU PADAM
;Moh. Andre
kau mengajakku
bertemu
sekadar melepas
kangen ke tungku api.
Suaramu lirih
di pesan WhatsApp
dan kau bercerita
sebelum lampu padam.
:Tuhan,
Barangkali takdir
seumpama pohon
menaungimu yang
berjalan ke gerbang cinta.
Sumenep, 2024.
MONOLOG
Langit bertanya di pengujung musim.
Mengapa anak itu merusak jarum jamnya?
bukankah waktu seharga mimpi tuhan, atau ia segaja membiarkan waktu pergi sebagai tragedi yang berulang-ulang menolak lupa.
Sumenep, 2024.
RINDU KITA SETEBAL KEMARAU
Awan meleleh di serambi langit
bulan dan bintang melemparkan cahaya
ke sorot mata. Ternyata rindu yang setebal kemarau itu, akan meresap pada dada kita
yang mengenang hari bersama.
Sumenep, 2024.